Langsung ke konten utama

Bandung Macet! Gara-Gara Siapa?

“Bandung macet!” begitulah pendapat orang-orang tentang Bandung saat ini, baik dari mulut para pelancong maupun dari warganya sendiri. Mau diakui atau tidak, namun itulah kenyataannya. Tengok saja jalanan Kopo-Katapang yang sangat terkenal dengan kemacetannya, padahal upaya pelebaran jalan telah dilakukan. Ironisnya muncul suatu ungkapan yang menggambarkan kemacetan Jalan Kopo, yaitu Kopo Lautan Hijau. Karena jika dilihat dari udara jalanan Kopo akan terlihat didominasi oleh warna hijau yang bukan lain adalah warna angkot Kopo-Kb. Kalapa yang selalu mendominasi sepanjang Jalan Kopo hingga kawasan Katapang.

Saking seringnya kemacetan di Jalan Kopo, sehingga memunculkan suatu konotasi, bahwa jika disebut kata ‘Kopo’ yang terbayang adalah kata ‘macet’. Akan tetapi, kemacetan di Kota Bandung tidak melulu di Jalan Kopo, melainkan di daerah lainnya. Misalnya, kawasan Cihampelas, Dago, Kosambi, bahkan saat ini telah merambah Jalan Sukarno-Hatta yang terkenal lebar dan panjang itu, terutama di kawasan perempatan Buah Batu atau Pasar Gede Bage.

.Mungkin juga kawasan lainnya pun ikut bernasib sama, yaitu terkena wabah macet. Apa lagi di setipa akhir pekan, hari libur, dan puncaknya di saat Bulan Ramadhan, di mana kebutuhan hidup sehari-hari semakin meningkat menggelitik penduduk Bandung atau luar Bandung untuk memadati pusat-pusat perbelanjaan yang ada di Kota Kembang ini, untuk memenuhi kebutuhan lahiriah dan batiniah mereka, sehingga kemacetanpun semakin meluas hingga seluruh kota. Kalau begitu wabah macet yang melanda Kota Kembang ini salah siapa sih?

Angkot VS Sepeda Motor

Jika dilihat dari sudut pandang sopir angkot, mungkin mereka akan sepakat bahwa kemacetan disebabkan gara-gara banyaknya pengguna sepeda motor yang membludak dan memadati jalanan. Hal itu pun juga yang menjadi indikasi berkurangnya penumpang, sehingga jangan pernah salahkan jika yang namanya angkot harus sering berhenti di mana saja untuk menurunkan atau menaikkan penumpang, bahkan untuk sekedar ngetem, terutama di kawasan industri atau sekolahan untuk menggaet calon penumpang, itupun tanpa mengindahkan rambu-rambu lalulintas yang terpampang jelas sambil berseru “Dilarang berhenti” atau “Dilarang parkir”. Alasannya satu, demi kejar setoran!

Di sisi lain berdasarkan sudut pandang pengguna sepeda motor, kemacetan terjadi karena ketidakdisiplinan para sopir angkot di dalam berlalu lintas, seperti berhenti sembarangan, ngetem di mana saja dan dengan seenaknya. Bahkan jika dihitung antara waktu perjalanan dengan waktu ngetem hampir sebanding. Jadi, daripada harus berlama-lama di jalan, mendingan nyicil motor, dengan uang muka ratusan ribu rupiah dan persyaratan yang lunak motor baru pun sudah dapat dikendarai, soal cicilan bisa dinegosiasikan.

Kedua paparan sudut pandang di atas cukuplah masuk akal, angkot banyak ngetem, karena berkurangnya jumlah penumpang, armada angkot yang menjadi saingan pun cukup banyak, sedangkan jumlah setoran yang harus dipenuhi para sopir diam di tempat tidak mau beranjak turun, bahkan mungkin merangkak naik jika harga BBM melonjak. Walhasil demi mengejar setoran ongkos pun dinaikkan, yang lagi-lagi cukup dilematis jumlah penumpang semakin melorot karena mungkin kenaikan tarif angkot menjadi alasan kuat bagi para penumpang angkot untuk beralih ke motor yang dinilai lebih efektif dan efisien.

Para pengendara motor yang tadinya pengguna angkot pun tidak dapat pula disalahkan sebagai penyebab kemacetan dengan meningkatnya jumlah pengendara motor di jalan raya. Mungkin karena alasan ingin efektif dan efisien di dalam pengaturan keuangan dan waktu rutinitas sehari-hari, yang tadinya dengan naik angot lama perjalanan satu jam, dengan motor dapat dipangkas menjadi setengah jam termasuk dalam kondisi macet, jika lancar dapat lebih kurang dari itu. Bagaimana dengan masalah kedisiplinan berkendara? Dapat dikatakan tidak ada yang benar, juga salah. Bahkan dapat dikatakan banyak tidak disiplinnya daripada disiplin. Angkot sering berhenti di sembarang tempat, menaikkan/menurunkan penumpang di sembarang tempat tanpa mengindahkan keselamatan penumpang, seperti di tengah jalan. Tidak beda jauh dengan motor, sering ugal-ugalan di jalan, ngambil jalur kendaraan lain, naik ke trotoar, tidak mengindahkan lampu merah, dan banyak lagi ketidak disiplinan lainnya. Dapat dikatakan alasannya klise, karena buru-buru mengejar waktu atau setoran, atau mungkin karena jenuh dengan kemacetan. Kalau begitu, sekali lagi permasalahan wabah macet di Kota Bandung ini gara-gara siapa? Harusnya bagaimana? Setiap penyakit kan ada obatnya, begitupun setiap permasalahan pasti ada jalan keluarnya. Jadi, harus kah jalanan diperlebar lagi? Atau membangun lebih banyak jalan layang? Semua itu butuh dana yang tidak sedikit, sedangkan banyak dana rakyat yang digondol para koruptor.

Tidak perlu lah kita saling menyalahkan, atau merasa diri paling benar, yang jelas persoalan kemacetan di Bandung sudah cukup meradang, sehingga hampir meluluhlantakan pamor yang menjadi julukan kota Bandung ini, yaitu kota Kembang. Sayangnya kini menjadi kota polusi dan sampah. Dulu Bandung terkenal dengan keasrian, kesejukan dan keindahannya kini terkenal dengan kegersangan, panas, dan macet. Oleh karena itu, jalan keluar yang efektif dan efisien memang sangat diperlukan untuk mengatasi kemacetan ini, mengingat kemacetan bukan hanya terjadi di Bandung, melainkan di kota-kota besar lainnya di Indonesia.

Berbagai solusi alternatif dari negara lain

Jika dilihat dari riwayat kemacetan, permasalahan ini pasti ada di mana-mana, bahkan di seluruh dunia. Akan tetapi, sebagian besar di antaranya memiliki solusi yang efektif dan efisien. Cobalah tengok Bogota ibu kota Kolumbia, kemacetan di bumi yang sering dilanda perang saudara serta perdagangan narkoba itu bisa dikatakan parah, namun pemerintah di sana cukup cerdik menyiasati permasalahan kemacetan, yaitu dengan mengatur penggunaan kendaraan pribadi dan memaksimalkan penggunaan kendaraan umum sebagai sarana transportasi sehari-hari. Cara yang dilakukan oleh pemerintah Bogota adalah dengan menjadwal penggunaan kendaraan pribadi. Misalnya, untuk segala jenis kendaraan pribadi bernopol tertentu dilarang ada di jalan raya pada hari dan waktu tertentu, sedangkan di waktu dan hari yang lain boleh digunakan. Selain itu, pengguna sepeda dan pejalan kaki mendapat tempat terhormat ketimbang pengguna kendaraan bermotor, sehingga pembangunan jalur sepeda, pejalan kaki, dan taman kota menjadi prioritas utama. Hal tersebut tentu saja harus memangkas lebar jalan untuk kendaraan bermotor. Hasilnya cukup memuaskan, pengguna kendaraan bermotor menjadi berkurang dan para pejalan kaki dan pesepeda meningkat, sedangkan jumlah polusi di udara pun otomatis berkurang.

Lain lagi dengan Cina, yang sejak dulu menggunakan sepeda sebagai alat transportasi harian, baik itu ke kantor, pasar, ataupun sekolah. Para pengguna sepedanya mulai dari pedagang kecil, pelajar, sampai kalangan eksekutif. Tidak kalah juga dengan Jepang yang betul-betul menaruh perhatian khusus terhadap pengendara sepeda dengan menyediakan tempat-tempat parkir khusus sepeda yang cukup luas. Selain itu, penggunaan angkutan umum pun betul-betul dimaksimalkan, tentunya didukung sarana dan prasarana yang boleh dibilang lumayan nyaman dan aman.

Berbagai Negara bagian di Amerika serikat pun mencanangkan beberapa hari khusus bersepeda. Bahkan di Belanda, sepeda merupakan sarana transportasi penting. Boleh dikatakan negara kampung halaman VOC ini merupakan surganya pesepeda. Bagaimana tidak, pengguna sepeda di negara kincir angin itu sangat banyak, hal tersebut karena ditunjang dengan banyaknya jalur sepeda, tempat parkir sepeda luas di tempat-tempat umum, dan tempat penyewaan sepeda. Seperti halnya di Cina atau Jepang, pengguna sepeda di Belanda beraneka ragam mulai dari pebisnis, kaum eksekutif, sampai kaum akademisi. Oleh karena itu, jangan heran jika tempat-tempat parkir, baik itu di mall, perkantoran, maupun sekolah atau kampus banyak dijejali oleh sepeda.

Lantas bagaimana dengan Indonesia, khususnya Bandung? Pada beberapa waktu yang lalu pemerintah Kota Bandung sempat mencanangkan kawasan bebas kendaraan bermotor di kawasan Dago setiap akhir pekan pada jam-jam tertentu. Akan tetapi, bagaimana hasilnya? Entah kurang promosi, atau kurang dukungan pemerintah setempat serta para staff sehingga gagasan tersebut tidak jelas nasibnya. Padahal jika pemerintah mau serius di dalam urusan kemacetan ini, mungkin selain dapat menurunkan kadar polusi udara juga mengurangi jumlah pengangguran karena terbukanya lapangan pekerjaan baru. Contohnya, jika kita mau mencontoh negara-negara di atas yang menjadikan sepeda sebagai sarana transportasi penting untuk kegiatan sehari-hari, maka diharapkan tumbuhnya peluang usaha baru yang menyangkut sepeda, seperti tempat penyewaan sepeda, penjualan aksesoris atau suku cadang sepeda, bengkel sepeda, atau tempat penitipan sepeda.

Jadi, solusi untuk kemacetan di Bandung?

Seperti yang telah dipaparkan di atas, beberapa solusi alternatif dapat dilakukan dengan meniru sepak terjang negara-negara di atas, seperti menjadwal penggunaan kendaraan bermotor pribadi dan memaksimalkan penggunaan kendaraan umum untuk sarana transportasi sehari-hari. Dapat pula memaksimalkan penggunaan sepeda sebagai sarana transportasi harian. Akan tetapi, betapa pun bagusnya ide atau solusi yang dikemukakan akan sulit terlaksana jika tidak didukung oleh keseriusan, baik dari pihak pemerintah daerah maupun pusat beserta jajaran staffnya. Begitupun peranan masyarakat Bandung yang sadar akan keindahan Kota Kembang ini.

Masalah kemacetan atau polusi udara di kota Bandung mungkin bukan persoalan besar, mungkin hanya persoalan ece-ece dibanding persoalan politik, korupsi, dan terorisme yang tengah marak melanda negeri ini, namun setiap permasalah yang besar dimulai dari yang kecil. Akan tetapi, jika pemerintah masih mumet dengan urusan perpolitikan, tidak ada salahnya jika kita sebagai rakyat jelata memulai duluan, disiplin berkendara, kurangi penggunaan kendaraan pribadi pada hari-hari tertentu dan memaksimalkan kendaraan umum, atau menjadikan sepeda sebagai sarana transportasi utama untuk kegiatan harian, atau mungkin ide alternatif lainnya yang dapat mengurangi kemacetan yang dapat kita kembangkan sendiri. Jadi, yuk kita lakukan dengan serius, lakukan sekarang, dan lihat hasilnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

I Choose, I Live

I Choose, I Live Pernah dengar ungkapan di atas? Saya tidak mendengarnya tapi membacanya di selebaran pamphlet sebuah iklan rokok, saya lupa merknya apa. Entah apa yang ada di benak para produsen rokok yang selalu mengenalkan jargon-jargon yang menggebrak, memotivasi, menjadi diri sendiri, padahal produk yang mereka tawarkan adalah racun mematikan. Tapi, biarlah namanya juga jualan selalu ada strategi dagang supaya cepat laku dan untung besar. Toh, lapangan kerja terbuka lebar bagi masyarakat. Oke, kembali lagi ke pembahasan I choose, I live , apa kira-kira makna yang terkandung dari kata-kata tersebut? Apa yang dipilih, apa yang membuat hidup. Kalau saya simpulkan menurut pandangan dan pemahaman saya, hidup adalah pilihan di saat kita memilih untuk hidup. Karena kita hidup tentu saja kita akan dihadapkan oleh berbagai pilihan hidup. Dan saya yakin di dunia ini tidak ada satu individu pun yang ingin hidup sengsara, semua pasti memilih hidup makmur, bergelimang harta, bahagia, atau s

Makna dan Hikmah Setia Kawan

Makna dan Hikmah Setia Kawan             Ada pepatah mengatakan bahwa memiliki satu musuh adalah lebih dari cukup, sedangkan memiliki ribuan kawan adalah jauh dari cukup. Oleh karena itu, kita harus selalu menjalin pertemanan di manapun dan kapanpun dengan siapapun tak terkecuali. Sayangnya, menjalin pertemanan terkadang lebih sulit ketimbang mencari permusuhan. Bahkan yang tadinya berkawan erat pun bisa menjadi musuh. Suatu hal yang miris, sungguh ironis, dan tentu saja hal itu tidak boleh dibiarkan terjadi. Di sinilah pentingnya memupuk rasa setia kawan.           Sebenarnya sesama umat manusia itu adalah bersaudara, selama kita tinggal satu atap, hidup di bawah langit yang sama, menghirup udara yang sama kita harus bisa hidup berdampingan, toh kita sama-sama ciptaan Tuhan. Bahkan, jika kita mengingat bahwa kita ciptaan Tuhan, kita pun harus menghargai hak hidup makhluk lainnya, seperti hewan dan tumbuhan. Jika saja di muka bumi ini terjalin perasaan setia kawan yang erat, buk

Ngomik, Yuk!

http://bitread.id/book_module/book/view/830/ngomik_yuk Ngomik, Yuk! Merupakan buku berjenis how to tentang bagaimana membuat komik bagi pemula. Judul buku dibuat dengan nada ajakan seolah mengajak siapapun untuk ngomik. Dengan kata lain, dengan buku ini penulis menegaskan bahwa siapapun bisa ngomik dan mengajak siapapun yang tertarik dengan komik untuk membuatnya, sekalipun belum bisa menggambar. Oleh karena itu, buku ini diperuntukkan bagi para pemula yang ingin mencoba terjun menggeluti dunia komik. Yang namanya pemula bisa siapa saja, entah anak sekolah, anak kuliah, ibu rumah tangga, pekerja swasta, siapapun yang entah kenapa tertarik ingin membuat komik. Karena dirancang untuk pemula, sebelum masuk ke ranah teknis, penulis terlebih dahulu mengajak pembaca untuk berkenalan dengan komik, mulai dari apa yang disebut dengan komik, sejarahnya, elemen apa saja yang menyusunnya, apa saja yang dibutuhkan untuk membuatnya, hingga bagaimana cara membuatnya. Apa itu komik? D