Langsung ke konten utama

Relativitas Keberuntungan


Saya sering berpikir mengapa orang lain lebih beruntung dibandingkan dengan saya? Mengapa saya tidak seberuntung orang lain? Saya sering nonton TV, dan saya sering menonton sebuah acara yang dipandu oleh orang yang awalnya hidup susah, lalu tiba-tiba keren, beken, dengan kata lain beruntung dan sekarang kaya raya. Katanya menurut gossip upah perbulannya hampir mencapai satu milyar rupiah, padahal kerjaannya sederhana – membuat orang ketawa, bahkan jadi bintang iklan segala.


Banyak lagi artis di tanah air yang menurut pikiran saya begitu mudah berhasil dan tampaknya rezeki mudah datang kepada mereka. Saya katakan mereka sangat beruntung. Adapula seorang teman, ia adalah seorang penulis walau sekarang kurang aktif menulis lagi, penghasilannya dari menulis dapat mencapai ratusan juta rupiah, bahkan hingga tembus angka satu M, padahal hanya dari satu buku yang ia tulis. Lalu saya katakan ia memang beruntung, karena saya yang menulis puluhan buku penghasilan saya tidak se-“wah!” teman saya itu.


Mengapa orang lain bergitu mudah mendapatkan keberuntungan? Selalu itu yang terbesit di kepala saya saat tuntutan ekonomi begitu mendesak dan menyudutkan. Akhirnya berbagai kekhawatiran datang silih berganti menumpulkan pikiran kreatif yang seharusnya saya miliki sebagai penjual ide. Saya berusaha lebih keras lagi, namun tetap ide-ide yang menurut saya kreatif terbentur berbagai penolakan. Lantas di manakah keberuntungan itu berada? Kemudian terbersit lagi dalam benak mengapa orang lain begitu beruntung di banding saya? Hingga saya pun merasa iri dengan tukang beca yang sering mangkal depan rumah, karena si tukang beca tersebut telah memiliki dua buah angkot, belum lagi sebuah rumah kontrakan. Dengan kata lain dari becanya ia sudah menjadi juragan angkot dan kontrakan, meskipun kegiatan mem-beca masih dijalaninya, mungkin just to kill the time. Jelas saja nasib si tukang beca ini jauh lebih beruntung dibandingkan saya yang nota benenya pekerja kantoran.


Kembali harus saya akui bahwa keberuntungan adalah salah satu faktor dari keberhasilan seseorang dalam menjalani hidup. Saya gali latar belakang orang-orang yang menurut saya jauh lebih beruntung itu, saya baca profile mereka hingga ke akar-akarnya. Hasilnya cukup menyengangkan, orang-orang tersebut pada awalnya jauh lebih sial dibandingkan saya, hidup kurang dari pas-pasan, bahkan harus rela buang malu untuk makan asalkan halal dan tidak meminta-minta. Akhirnya, dari segala jerih payahnya mereka pun berhasil menuai buah manisnya ratusan kali lipat dari keadaan mereka sebelumnya. Misalnya, saja Yusril yang pernah jualan telor asin pada masa kecilnya, Sule yang awalnya hanya seorang anak kampung biasa dan hidup pas-pasan dan hanya bantu orang tuanya jualan baso keliling, begitupun dengan rekannya Ajiz gagap yang memulai karirnya dari menjadi badut panggilan, dan masih banyak lagi.


Cerita yang hampir mirip saya temukan pada latar belakang orang-orang yang menurut saya sangat beruntung. Di sini saya menarik kesimpulan bahwa keberuntungan yang mereka dapatkan merupakan buah dari kerja keras tak kenal menyerah. Dengan demikian, keberuntungan itu adalah pilihan, logikanya adalah usaha dan segi spiritualnya adalah tawakal.


Bagi saya keberuntungan adalah suatu hal yang relatif karena tergantung seberapa keras dan berkualitasnya kita dalam mengusahakan cita-cita atau mimpi-mimpi kita. Kebruntungan juga tergantung kepada situasi dan kondisi, sehingga keberuntungan bisa didapat berdasarkan peluang. Misalnya, kita telah berusaha keras membuka usaha dengan membuat produk pakaian yang berkualitas, namun dari segi desain pakaian yang kita perjuangkan dan impikan sebelumnya sudah tidak lagi up to date, sehingga pembeli enggan untuk membelinya, ditambah pula dengan harganya yang cukup mahal untuk masyarakat menengah ke bawah. Jika ini terjadi berarti untuk mendapat keberuntungan, khususnya dalam bisinis jual beli adalah dengan jelinya melihat pasar.


Jika melihat dari paparan di atas saya menyimpulkan bahwa keberuntungan bisa datang kapan saja jika kita mau mengusahakannya. Karena dikatakan beruntung karena kita tengah mengusahakan sesuatu demi mencapai sesuatu yang diimpikan tiba-tiba jauh di luar jangkauan nalar kita, mimpi itupun terwujud. Memang arti keberuntungan adalah sesuatu yang tidak bisa diukur dengan nalar, namun hasilnya begitu nyata. Mungkin keberuntungan bisa saja datang begitu saja tanpa usaha, namun kapan akan mendapatkannya kita tidak pernah tahu. Satu-satunya cara untuk mengetahui keberuntungan adalah lewat jalur usaha, sekalipun pergi ke dukun demi mendapatkan kekayaan dunia yang abadi merupakan sebuah usaha untuk menggapai keberuntungan tersebut sekalipun harus dibayar dengan resiko yang teramat pedih dan ganjil serta, tentu saja, dilarang oleh agama.
Akhirnya, di ujung pertanyaan “mengapa saya tidak seberuntung mereka?” saya menemukan satu hal yang menjadi kunci dan terkadang terlupakan, yaitu tawakal. Setelah beruasaha sekuat tenaga untuk menggapai mimpi, tawakal sebagai penyelesaiannya. Ikhtiar dan tawakal harus berjalan seimbang dalam menggapai cita-cita karena bagaimanapun Yang Maha Kuasalah yang memegang kunci keberhasilan kita, tanpa keridoannya sekeras apapun usaha kita, sebesar apapun pengorbanan kita, tetap keberuntungan itu tak kan datang jua. Selain itu, di balik tawakal tersimpan motivasi yang tak pernah padam untuk terus dan terus ihktiar tanpa mengeluh, fokus pada pekerjaan, tanpa gangguan rasa malas atau pikiran lainnya yang membengkokkan konsentrasi kita, sehingga pikiran dan kreativitas semakin terasah dan kita semakin cerdas menangkap peluang dalam menjual ide-ide serta percaya diri.
Tawakal + Ikhtiar = sukses (beruntung)

Komentar

  1. jadi intinya kesuksesan itu tergantung kwalitas usahanya, ya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna dan Hikmah Setia Kawan

Makna dan Hikmah Setia Kawan             Ada pepatah mengatakan bahwa memiliki satu musuh adalah lebih dari cukup, sedangkan memiliki ribuan kawan adalah jauh dari cukup. Oleh karena itu, kita harus selalu menjalin pertemanan di manapun dan kapanpun dengan siapapun tak terkecuali. Sayangnya, menjalin pertemanan terkadang lebih sulit ketimbang mencari permusuhan. Bahkan yang tadinya berkawan erat pun bisa menjadi musuh. Suatu hal yang miris, sungguh ironis, dan tentu saja hal itu tidak boleh dibiarkan terjadi. Di sinilah pentingnya memupuk rasa setia kawan.           Sebenarnya sesama umat manusia itu adalah bersaudara, selama kita tinggal satu atap, hidup di bawah langit yang sama, menghirup udara yang sama kita harus bisa hidup berdampingan, toh kita sama-sama ciptaan Tuhan. Bahkan, jika kita mengingat bahwa kita ciptaan Tuhan, kita pun harus menghargai hak hidup makhluk lainnya, seperti hewan dan tumbuhan. Jika saja di muka bumi ini terjalin perasaan setia kawan yang erat, buk

I Choose, I Live

I Choose, I Live Pernah dengar ungkapan di atas? Saya tidak mendengarnya tapi membacanya di selebaran pamphlet sebuah iklan rokok, saya lupa merknya apa. Entah apa yang ada di benak para produsen rokok yang selalu mengenalkan jargon-jargon yang menggebrak, memotivasi, menjadi diri sendiri, padahal produk yang mereka tawarkan adalah racun mematikan. Tapi, biarlah namanya juga jualan selalu ada strategi dagang supaya cepat laku dan untung besar. Toh, lapangan kerja terbuka lebar bagi masyarakat. Oke, kembali lagi ke pembahasan I choose, I live , apa kira-kira makna yang terkandung dari kata-kata tersebut? Apa yang dipilih, apa yang membuat hidup. Kalau saya simpulkan menurut pandangan dan pemahaman saya, hidup adalah pilihan di saat kita memilih untuk hidup. Karena kita hidup tentu saja kita akan dihadapkan oleh berbagai pilihan hidup. Dan saya yakin di dunia ini tidak ada satu individu pun yang ingin hidup sengsara, semua pasti memilih hidup makmur, bergelimang harta, bahagia, atau s

Ngomik, Yuk!

http://bitread.id/book_module/book/view/830/ngomik_yuk Ngomik, Yuk! Merupakan buku berjenis how to tentang bagaimana membuat komik bagi pemula. Judul buku dibuat dengan nada ajakan seolah mengajak siapapun untuk ngomik. Dengan kata lain, dengan buku ini penulis menegaskan bahwa siapapun bisa ngomik dan mengajak siapapun yang tertarik dengan komik untuk membuatnya, sekalipun belum bisa menggambar. Oleh karena itu, buku ini diperuntukkan bagi para pemula yang ingin mencoba terjun menggeluti dunia komik. Yang namanya pemula bisa siapa saja, entah anak sekolah, anak kuliah, ibu rumah tangga, pekerja swasta, siapapun yang entah kenapa tertarik ingin membuat komik. Karena dirancang untuk pemula, sebelum masuk ke ranah teknis, penulis terlebih dahulu mengajak pembaca untuk berkenalan dengan komik, mulai dari apa yang disebut dengan komik, sejarahnya, elemen apa saja yang menyusunnya, apa saja yang dibutuhkan untuk membuatnya, hingga bagaimana cara membuatnya. Apa itu komik? D