Suatu
ketika, seorang kawan datang membawa dua buah buku mengenai parenting. Dia
meminta bantuanku untuk mengedit kedua buku tersebut untuk kepentingan cetak
ulang. Selain dicetak ulang, sang penulis ingin buku tersebut dijadikan satu
buku. Sang penulis sendiri adalah seorang pakar parenting coach internasional
karena telah menjambangi berbagai penjuru dunia di empat benua untuk membagikan
ilmunya. Sudah dipastikan, ia pun sudah melanglang buana di berbagai pelosok
Nusantara, dari kota besar hingga kawasan terpencil. Akunya mulai dari Sabang
hingga Merauke. Tujuannya, untuk
membagikan ilmu mengenai parenting guide, bagaimana menjadi orangtua
yang baik untuk anak-anak. Menurut penulis yang juga pendiri Auladi Parenting
School ini, kemajuan suatu negara bergantung kepada kehebatan pribadi
bangsanya. Kehebatan pribadi bangsa dimulai dari rumah, pengelolanya adalah
orangtua.
Langkah
pertama sebelum mengeksekusi buku yang akan diedit adalah membacanya terlebih
dahulu. Ini adalah langkah review (sebagai kebiasaan saya saat ngedit). Apalagi,
sasaran editing adalah buku yang sudah terbit atau naik cetak, tentunya
sudah melalui proses editing sebelumnya. Dari proses membeca inilah saya
merasakan hantaman hebat mendera di dada. Beberapa kali saya harus menutup buku
sekadar meredakan gemuruh di dada. Buku yang ditulis oleh Abah Ihsan ini, meskipun
gaya bahasanya ringan, pembahasannya mudah dicerna, namun karena itulah saya
bisa menyelami isinya dengan mudah dan tenggelam di dalamnya. Tenggelam dalam
penyesalan dan berharap bisa mengulang waktu. Ingin rasanya kembali ke masa saat
kedua buah hatiku masih kanak-kanak, saat mereka getol sekali merengek ini dan
itu karena meminta sesuatu, namun saya terlalu takacuh dan lebih tenggelam
dalam kesibukan kerja. Saat itu perkejaan terasa lebih penting daripada
mengarungi perasaan mereka yang hanya menginginkan kehadiran, belaian, waktu
bersama sosok ayah yang selalu hilang saat mereka terbangun di pagi hari.
Kendatipun tiba di rumah, kedua bidadari itu sudah terlelap mimpi. Mungkin
dalam hati mereka berharap, besok semoga bisa bertemu ayah. Namun, nyatanya hal
serupa terulang dan terulang lagi.
Pada buku
pertama, penulis mengingatkan kita mengenai seberapa salehkah kita menjadi
orangtua? Saleh menurut penulis bukan hanya rajin dalam ibadah semata, meskipun
hal ini pun sangat penting. Namun,
penulis ingin menekankan pada seberapa dalam orangtua menyelami perasaan anak. Pada
bab pertama, Abah Ihsan menyinggung bahwa anak adalah fitrah. Selayaknya sebuah
fitrah, anak terlahir di dunia tidak membawa salah apa-apa. Namun, orangtua
malah menyematkan konsep salah, nakal, badung, bandel, dan sebagainya kepada
anak tanpa disadari. Semua itu gara-gara orangtua gagal memahami perasaan anak.
Tidak sedikit ayah, yang merasa sudah cukup dengan menunaikan tugas
keayahannya-mencari nafkah setiap hari. Tidak sedikit pula ibu mengabaikan
anak, membiarkan anak bermain sekehendak mereka selama tidak rewel atau
mengganggunya saat mengerjakan aneka kegiatan rumah tangga. Padahal, masih ada
kewajiban lainnya yang jauh lebih penting, yaitu menemani anak, memahami
perasaan mereka, dan membimbing mereka menjadi pribadi yang paling kita
dambakan: saleh dan salehah.
Abah
juga menegaskan bahwa pertengkaran antara adik dan kakak adalah penting. Dengan
adanya pertengkaran, anak berlatih untuk mengatasi konflik mereka. Saat si
kakak atau si adik berbuat salah, mereka layak mendapat hukuman, namun bukan
berarti harus dengan kekerasan atau hal lainnya yang dapat menjatuhkan harga
diri mereka. Pada bab lainnya, Abah menjelaskan bahwa sebenarnya anak tidak
menginginkan mainan mahal, acara televisi yang menarik, atau aneka makanan
lezat, anak justru ingin diakui kehadirannya, dipahami perasaannya, tanpa
membedakannya dengan yang lain, sekalipun saudaranya.
Abah
Ihsan betul-betul menekankan bahwa selama ini banyak generasi bangsa yang kacau
hidupnya bukan karena pengaruh lingkungan. Justru kekacauan itu datang dari
keluarga, karena orangtua gagal memberikan teladan kepada anak, kurang
meluangkan waktu dengan anak, kurang mampu menyelami perasaan anak karena dalih
sibuk bekerja, kurangnya menyentuh perasaan anak saat anak betul-betul
mengharapkan kehadiran orangtuanya. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak
anak yang terjerumus dalam jerat narkoba atau pergaulan bebas gara-gara
berteman dengan orang yang salah. Bahkan saat dewasa, tidak sedikit yang
terjerat korupsi setelah menjadi pejabat publik, karena konsep kebahagiaan yang
terpatri di hatinya adalah materi.
Oleh
karena itu, jangan salahkan anak jika kita, sebagai orangtua, merasa diacuhkan,
tidak dianggap oleh buah hati kita. Padahal, kitalah yang telah melahirkan dan
mengurusnya dengan darah dan keringat. Jangan salahkan anak jika anak lebih
nyaman berada di dekapan orang lain daripada dekapan kita, orangtuanya.
Kemudian,
di buku keduanya, Abah Ihsan mengajak para orangtua untuk merenung tentang
menjadi orangtua. Menjadi orangtua menurut Abah Ihsan menuntut kedewasaan dan
penuh dengan pengertian dan kasih sayang. Menjadi orangtua bukan hanya sekadar
bekerja demi memenuhi kebutuhan duniawi anak. Menjadi orangtua bukan berarti
menyekolahkan anak di sekolah bonafid demi masa depan yang gilang gemilang.
Menjadi orangtua bukan berarti mendidik anak supaya patuh dengan keinginan
orangtua.
Dalam
buku keduanya ini, Abah Ihsan benar-benar mengingatkan kita bahwa untuk
mendamba anak saleh adalah dengan menjadi orangtua saleh bagi anak. Saleh di
sini bukan berarti orangtua yang sangat rajin beribadah saja sehingga menjadi
teladan bagi anak-anak. Menjadi teladan dalam hal ibadah memang penting, tetapi
tentunya bukan hanya itu saja. Ada hal lainnya yang tidak boleh setiap orangtua
abaikan, yaitu memahami dan menyelami perasaan anak, selalu hadir saat anak
membutuhkan, mendengarkan keluh kesah mereka, membuat mereka merasa betah
bersama orangtuanya. Jika orangtua takacuh dengan keberadaan anak dan perasaan
mereka, jangan salahkan anak jika saat dewasa kelak, saat mereka hidup berumah
tangga dan jauh terpisah dari kita, mereka semakin menjauh dari kita, tidak
pernah memberikan kabar, apalagi menanyakan kabar kita sebagai orangtuanya. Di
sisi lain kita mulai renta, merasa kesepian, betapa waktu begitu cepat berlalu.
Untuk
dua buah hati Ayah… maafkan Ayah ya, Nak, jika Ayah jarang bersama kalian. Ayah
sangat sayang kalian. Semoga bidadari-bidadari Ayah bisa memberikan kesempatan kepada Ayah
untuk menjadi orangtua yang saleh bagi kalian.
Komentar
Posting Komentar