Tuhan... izinkan aku menjadi seorang penulis, jika tidak jadikan aku seoranng komikus
Menjadi penulis? Mengapa harus menjadi penulis? Apa nggak ada kerjaan lain? Memangnya apa untungnya menjadi penulis? Kira-kira seperti itulah pertanyaan yang muncul di benak saya pada saat akan memutuskan mau menjadi apa kalau sudah tua nanti. Padahal selama ini dan mungkin seterusnya dunia ilustrasi telah menjadi bagian hidup saya. Bahkan sebelum lulus kuliah dunia gambarlah yang menghidupi saya dan membantu masalah pembiayaan kuliah dulu. Sampai-sampai sempat mendeklarasikan diri untuk menjadi komikus atau illustrator professional, apalagi beberapa kejuaran menggambar dan komik, baik tingkat provinsi maupun lokal pernah saya ikuti dan telah berhasil memenangkan beberapa di antaranya.
Akan tetapi, setelah memasuki dunia penerbitan dengan posisi editor saya memiliki pandangan baru yang membawaku kepada tujuan hidup yang baru – menjadi penulis. Hmmm… menjadi seorang penulis. Kedengarannya intelek, penuh nuansa civitas academica, mungkin kaya, bergengsi, mungkin juga kere dan menyedihkan. Apapun embel-embel yang menggentayangi kata ‘penulis’, yang jelas saya terkesima dengan kata “penulis”, saya pun berargumen bahwa bangsa ini dan bangsa-bangsa lainnya di dunia ini tidak akan pernah bisa baca-tulis jika tidak ada buku, buku tidak akan pernah ada tanpa penulis, dan penulis pun tidak akan bisa menulis tanpa buku sehingga ia belajar baca-tulis.
Ada kata bijak yang berbunyi,”Ilmu itu adalah buruan, maka ikatlah buruan itu”. Maksud dari kata ‘ikatlah ‘ buruan itu adalah dengan cara menuliskannya sehingga ilmu tersebut dapat dipelajari oleh orang-orang setelahnya. Orang-orang sekarang mungkin akan sedikit yang mengenal dan mempelajari Al-Quran jika tidak ada inisiatif untuk menuliskan dan menyusunnya. Jadi, sekali lagi, terlepas dari segala embel-embel yang menggerayangi imej seorang penulis, penulis adalah pencipta buku, dan buku adalah sumber ilmu. Begitu argument saya berikutnya untuk mengukuhkan diri terhadap pandangan baru yang ingin saya tuju dalam hidup ini, yaitu menjadi penulis.
Atas dasar argumen di ataslah saya bercita-cita menjadi seorang penulis. Akan tetapi, percayalah, menulis, sama seperti dengan keahlian lainnya, butuh bukan hanya sekedar bakat, namun kemauan yang kuat dan usaha yang keras. Dan modal utama menjadi penulis selain kemauan adalah gemar membaca. Akan tetapi, apa jadinya jika seseorang yang bercita-cita menjadi penulis, namun tidak gemar membaca apa lagi mengoleksi buku? Tentu saja butuh perjuangan yang mungkin bisa dikatakan dua kali lebih keras dari mereka yang gemar baca, tetapi tidak gemar menulis.
Dalam catatan harian saya yang entah ke mana, saya pernah menuliskan perihal perjalanan meraih cita-cita untuk menjadi penulis. Dalam buku harian tersebut saya menggambarkan perjalanan dalam meraih mimpi ke dalam sebuah metamorphosis ulat menjadi kupu-kupu. Penggambaran tersebut mungkin juga dialami oleh siapapun yang senasib dengan saya.
Fase perjalanan saya yang pertama adalah fase ulat, di mana fase ini merupakan awal mula proses atau usaha menjadi penulis dengan segala tantangan dan godaannya dimulai. Fase kedua adalah kepompong, merupakan fase pembelajaran di mana hikmah-hikmah baik mulai dicerna yang dapat mengantarkannya menjadi seekor kupu-kupu, dengan kata lain fase pengolahan. Fase kupu-kupu merupakan fase puncak, dengan kata lain telah menjadi penulis, namun masih dalam tahap perjalanan apakah tulisannya menjadi konsumsi sendiri, publik tapi nonprofit, atau publik dan profit. Dan terakhir adalah harapan serta motivasi diri untuk tetap konsisten di dunia aksara yang dipilih ini.
Menjadi penulis adalah gampang-gampang susah. Sumpah sampai saat ini pun saya masih bertanya, apakah saya telah benar-benar menjadi kupu-kupu, atau padahal masih sebuah kepompong yang bermimpi menjadi kupu-kupu, atau sebenarnya masih berwujud ulat lalu berkhayal menjadi kupu-kupu. Akan tetapi, yang jelas saat ini membaca menjadi kegiatan saya, begitupun menulis, hanya saja permasalahannya adalah penulis seperti apa saya ini, penulis idealiskah? Atau penulis industrialiskah? Dari dua pertanyaan batin tersebut saya simpulkan bahwa untuk memulai sesuatu itu harus memiliki tujuan yang jelas. Sempat saya bingung dengan tujuan saya menulis dan bercita-cita menjadi penulis, dan saat ini saya sadar bahwa tujuan menulis adalah untuk mencerahkan dan memunculkan jati diri, terlepas dari segi idealisme atau industri. Dengan tetap menjadi diri sendiri pada saat berkarya (menurut teori saya) segala sesuatu itu akan mengalir dengan tenang meskipun tidak deras, namun lancar. Terdengar idealis, bukan?
Saat ini saya memiliki motivasi lain dalam menulis, yaitu menulis untuk hidup, hidup dalam artian dikenang lewat karya-karya yang saya buat. Dan pengertian hidup lainnya adalah hidup, dalam arti menghidupi diri dan keluarga dari hasil menulis. Saya tidak munafik dalam hal ini, bahwa saya ingin kaya dari menulis. Wajar kan? Menurut saya itu bukan sekedar wajar, namun realistis. Akan tetapi, seharusnya menjadi ‘hidup’ dalam menulis adalah sebuah akibat, bukan tujuan. Sedangkan tujuannya adalah menjadi diri sendiri dengan cara berbagi lewat karya literatur. Dengan demikian, menulis akan menjadi bagian dari diri sendiri seperti halnya gaya berpakaian, gaya rambut, gaya bicara, dan gaya-gaya lainnya yang melekat pada diri menjadi identitas diri tersebut yang benar-benar genuine, begitupun dengan menulis. Dengan begitu, ‘kehidupan’ itu akan tiba cepat atau lambat. Mudah kan?
Memang mudah dikatakan, namun prakteknya butuh usaha keras, dan hingga saat ini saya masih berjuang mencari jati diri dalam menulis untuk ‘hidup’, karena ingatan saya terhadao dunia ilustasi yang dulu pernah saya campakkan pada saat mengejar dunia literatur kini menyeruak kembali, ketika karya komik sahabatku telah berhasil terbit dan laku bak kacang goreng di pasaran. Padahal dulu sayalah yang memotivasinya untuk berkarya dan berkomik. Ketika saya menyadari itu, dunia yang pernah menghidupiku itu telah memudar, sedangkan dunia baru yang tengah aku tuju sejak aku mengenal dunia buku masih terlihat remang-remang. Sayapun sadar bahwa saya telah berada di antara dua dunia. Bisakah saya menempati dua dunia tersebut sekaligus? Mungkin kwalitas usaha dan waktu yang dapat menjawabnya.
Komentar
Posting Komentar