sumber gambar: http://majarimagazine.com
Polemik Permasalahan Sampah yang Meradang di Kota Kembang
Sebelum terkenal sebagai pusat belanja aneka produk distro dan FO, Bandung terkenal dengan julukan Kota Kembang, karena keindahan kota yang bersih, asri, sejuk, dan tentu saja berbunga. Pada saat ini pun pemerintah kota Bandung telah mencanangkan Bandung sebagai kota yang bermartabat, yaitu kota yang bersih, makmur, dan bersahabat. Dan belum lama ini pemkot juga tengah berusaha menetapkan Bandung menjadi kota yang religious. Dengan segala embel-embel yang diberikan kepada kota ini, seharusnyalah Bandung menjadi kota yang nyaman untuk ditinggali, baik di mata maupun dirasa. Akan tetapi, beberapa waktu yang lalu Kota Kembang ini pernah menyandang kota sampah karena pemerintah telah gagal dalam menanggulangi sampah, setelah tragedi Leuwi Gajah.
Kendati julukan kota sampah berangsur pulih, namun permasalahan sampah ini masih saja menjadi polemik, baik dari unsur pemerintah maupun warga kotanya. Sering kita jumpai peringatan-peringatan yang bernada anjuran supaya tidak membuang sampah sembarangan, namun tetap saja masih banyak orang yang melanggarnya. Hal tersebut mungkin karena tidak ada sarana untuk melakukannya. “Buanglah Sampah pada Tempatnya”, namun tempat sampahnya bolong, bahkan tidak terdapat sama sekali tong sampah.
Budaya santun pun kian membusuk seiring dengan membusuknya permasalahan sampah ini, yang mungkin telah menyatu dengan kelakuan warganya, seperti membuang sampah sembarangan, baik dilakukan oleh pengendara motor atau mobil. Mungkin masih mending jika si penumpang adalah penumpang angkot, namun jika kendaraan yang ditumpanginya adalah sekelas City Car ke atas kira-kira siapa yang bodoh, pemerintahkah yang tidak tegas dengan peraturan tata kotanya, ataukah si pengendara atau si penumpang yang mobil mewahnya tidak disertai dengan tong sampah?
Bukan hanya pengendara bermotor saja, begitupun dengan para pejalan kaki yang turut menyemarakkan Bandung sebagai kota sampah dengan membuang bungkus plastik walau hanya selembar bungkus permen saja di jalanan sambil berlenggak lenggok dengan wajah tak berdosa. Meskipun hanya sebungkus permen, namun jika dilakukan oleh seratus orang saja setiap hari tetap akan menjadi gundukan sampah. Pada saat musim huja tiba gundukan sampah yang didominasi oleh sampah plastik itu akan terbawa arus air hujan dan ramai-ramai masuk got. Akibatnya, tersumbatnya aliran air karena akumulasi sampah yang dibuang sembarangan (khususnya di jalanan). Pantas saja Bandung menjadi langganan banjir setiap kali musim hujan karena drainase sumpek dengan sampah.
Seperti inikah kota berhiber (bersih, hijau, berbunga) itu, beginikah wajah kota bermartabat (bersih, makmur, taat, bersahabat) itu, masih pantaskah menyandang kota religious? Kiranya, sebelum menggembar-gemborkan slogan-slogan idealis, dan juga ‘ber-ber’ yang lainnya, pemerintah setempat harus mampu membentuk karakter masyarakatnya terlebih dahulu dengan benar-benar menegakkan kedisiplinan, tegas dengan peraturannya, dan memberikan teladan yang 100% positif dan dapat ditiru oleh masyarakat. Jangan sampai hanya getol pada saat ada maunya saja, seperti ajang Adipura beberapa tahun yang lalu, walau memang Bandung berhasil mendapatkan piala dalam kategori Best Effort. Akan tetapi, masihkah kenyataan di balik simbol piala tersebut masih mampu dipertahankan? Ironisnya, jangankan dipertahankan masyarakatnya saja sebagian besar belum tahu bahwa kota ini mendapatak pengghargaan bergengsi itu. Masyarakat tetap rajin membuang sampah sembarangan dan rajin ngomel setiap kali kebanjiran dan jalanan rusak karena keseringan tergenang air sehingga lapisan aspal terkikis habis dan meninggalkan lubang yang menganga, padahal banjir bukan melulu karena drainase yang buruk, namun fungsinya yang beralih sebagai tong sampah. Jadi, salah siapakah ini?
Mungkin kita tidak perlu saling menyalahkan satu sama lain, yang kita perlukan adalah kesadaran individu. Kesadaran ini akan terbentuk jika peraturan benar-benar tegas dan ditegakkan. Ketegasan pun tidak akan menjadi polemik jika ada contoh yang baik dari si pembuat peraturan, yang mampu menjadikan dirinya atau para staffnya sebagai sosok uswatun hasanah bagi individu-individu yang diaturnya. Semoga kesadaran itu terwujud cepat atau lambat, namun semoga hari esoklah yang terbaik untuk mewujudkannya.
Polemik Permasalahan Sampah yang Meradang di Kota Kembang
Sebelum terkenal sebagai pusat belanja aneka produk distro dan FO, Bandung terkenal dengan julukan Kota Kembang, karena keindahan kota yang bersih, asri, sejuk, dan tentu saja berbunga. Pada saat ini pun pemerintah kota Bandung telah mencanangkan Bandung sebagai kota yang bermartabat, yaitu kota yang bersih, makmur, dan bersahabat. Dan belum lama ini pemkot juga tengah berusaha menetapkan Bandung menjadi kota yang religious. Dengan segala embel-embel yang diberikan kepada kota ini, seharusnyalah Bandung menjadi kota yang nyaman untuk ditinggali, baik di mata maupun dirasa. Akan tetapi, beberapa waktu yang lalu Kota Kembang ini pernah menyandang kota sampah karena pemerintah telah gagal dalam menanggulangi sampah, setelah tragedi Leuwi Gajah.
Kendati julukan kota sampah berangsur pulih, namun permasalahan sampah ini masih saja menjadi polemik, baik dari unsur pemerintah maupun warga kotanya. Sering kita jumpai peringatan-peringatan yang bernada anjuran supaya tidak membuang sampah sembarangan, namun tetap saja masih banyak orang yang melanggarnya. Hal tersebut mungkin karena tidak ada sarana untuk melakukannya. “Buanglah Sampah pada Tempatnya”, namun tempat sampahnya bolong, bahkan tidak terdapat sama sekali tong sampah.
Budaya santun pun kian membusuk seiring dengan membusuknya permasalahan sampah ini, yang mungkin telah menyatu dengan kelakuan warganya, seperti membuang sampah sembarangan, baik dilakukan oleh pengendara motor atau mobil. Mungkin masih mending jika si penumpang adalah penumpang angkot, namun jika kendaraan yang ditumpanginya adalah sekelas City Car ke atas kira-kira siapa yang bodoh, pemerintahkah yang tidak tegas dengan peraturan tata kotanya, ataukah si pengendara atau si penumpang yang mobil mewahnya tidak disertai dengan tong sampah?
Bukan hanya pengendara bermotor saja, begitupun dengan para pejalan kaki yang turut menyemarakkan Bandung sebagai kota sampah dengan membuang bungkus plastik walau hanya selembar bungkus permen saja di jalanan sambil berlenggak lenggok dengan wajah tak berdosa. Meskipun hanya sebungkus permen, namun jika dilakukan oleh seratus orang saja setiap hari tetap akan menjadi gundukan sampah. Pada saat musim huja tiba gundukan sampah yang didominasi oleh sampah plastik itu akan terbawa arus air hujan dan ramai-ramai masuk got. Akibatnya, tersumbatnya aliran air karena akumulasi sampah yang dibuang sembarangan (khususnya di jalanan). Pantas saja Bandung menjadi langganan banjir setiap kali musim hujan karena drainase sumpek dengan sampah.
Seperti inikah kota berhiber (bersih, hijau, berbunga) itu, beginikah wajah kota bermartabat (bersih, makmur, taat, bersahabat) itu, masih pantaskah menyandang kota religious? Kiranya, sebelum menggembar-gemborkan slogan-slogan idealis, dan juga ‘ber-ber’ yang lainnya, pemerintah setempat harus mampu membentuk karakter masyarakatnya terlebih dahulu dengan benar-benar menegakkan kedisiplinan, tegas dengan peraturannya, dan memberikan teladan yang 100% positif dan dapat ditiru oleh masyarakat. Jangan sampai hanya getol pada saat ada maunya saja, seperti ajang Adipura beberapa tahun yang lalu, walau memang Bandung berhasil mendapatkan piala dalam kategori Best Effort. Akan tetapi, masihkah kenyataan di balik simbol piala tersebut masih mampu dipertahankan? Ironisnya, jangankan dipertahankan masyarakatnya saja sebagian besar belum tahu bahwa kota ini mendapatak pengghargaan bergengsi itu. Masyarakat tetap rajin membuang sampah sembarangan dan rajin ngomel setiap kali kebanjiran dan jalanan rusak karena keseringan tergenang air sehingga lapisan aspal terkikis habis dan meninggalkan lubang yang menganga, padahal banjir bukan melulu karena drainase yang buruk, namun fungsinya yang beralih sebagai tong sampah. Jadi, salah siapakah ini?
Mungkin kita tidak perlu saling menyalahkan satu sama lain, yang kita perlukan adalah kesadaran individu. Kesadaran ini akan terbentuk jika peraturan benar-benar tegas dan ditegakkan. Ketegasan pun tidak akan menjadi polemik jika ada contoh yang baik dari si pembuat peraturan, yang mampu menjadikan dirinya atau para staffnya sebagai sosok uswatun hasanah bagi individu-individu yang diaturnya. Semoga kesadaran itu terwujud cepat atau lambat, namun semoga hari esoklah yang terbaik untuk mewujudkannya.
Komentar
Posting Komentar