(Hikmah dari film “Motherhood”)
“Mother's done everything, but father's only done some things….”
Itulah inti dari cerita film yang saya tonton, yaitu film yang berjudul “Motherhood”. Film yang dibintangi oleh Uma Thurman tersebut bercerita tentang kehidupan sehari-hari seorang ibu rumah tangga. Eliza Welch yang diperankan Uma Thurman adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki latar belakang seorang penulis, namun karir menulisnya harus ia tunda untuk jangka waktu yang tidak ditentukan, karena karirnya sebagai ibu rumah tangga begitu menyita waktunya. Namun, ia tetap menulis walau sekedar menulis di blog.
Sebagaimana halnya tugas seorang ibu rumah tangga, Eliza terkadang merasa tertekan dengan segala rutinitas yang ia lakukan sehari-hari, yang menurutnya adalah hal-hal sepele, namun begitu terorganisir dan bersifat kontinum sehingga memiliki bobot yang menguras tenaganya. Mulai dari mengantar anak pertamanya sekolah, mengasuh anak bungsunya, melipat pakaian, mencuci piring, sampai persiapan pesta ulang tahun anak pertamanya yang diceritakan akan menginjak usia enam tahun. Segala ketertekanan ia tuangkan ke dalam blognya yang ia berinama The Bjorn Identity.
Ketertekanan Eliza Semakin akut ketika ia berusaha menulis artikel untuk sayembara menulis yang diadakan oleh sebuah majalah keluarga. Hasratnya menulis kembali menyeruak apalagi dengan jumlah hadiah yang cukup lumayan, namun untuk menuliskan 500 karakter tentang keibuan (motherhood), sebagai jawaban dari pertanyaan sederhana pada sayembara tersebut, yaitu “What Does Motherhood Mean to Me?”, Eliza harus berjuang habis-habisan, karena, sekali lagi, tugas ibu rumah tangga yang begitu tidak mengenal kompromi dengan ambisinya, sedangkan di sisi lain sang suami, Avery, yang diperankan oleh Anthony Edward, seolah bersikap ignoran dan seolah hanya mementingkan dunia dan pekerjaannya, seperti pada saat berbagi tugas untuk membawa anjing mereka keluar supaya tidak ‘poops’ di karpet, Avery malah terfokus pada tumpukan buku-buku kuno yang akan dibuang oleh tetangganya. Hal tersebut membuat Eliza semakin merasa gerah dengan keadaannya, dan karena ketretekanannya itu, pada suatu scene, ia hampir meninggalkan suami dan kedua anaknya.
Suatu ketika ia bertemu dengan seorang kurir yang membawakan surat-surat untuk suaminya, kurir tersebut bernama Mikesh yang juga seorang penulis, khususnya naskah drama. Tatapan Mikesh dan kelembutan hatinya membuat Eliza begitu berarti dan merasa istimewa, serta dihargai, sebuah tatapan yang tidak ia dapatkan lagi dari sang suami. Pada suatu sore yang begitu emosional, Eliza mengungkapkan kekesalan, kesedihan, dan kepenatannya kepada Avery. Betapa hidupnya begitu monoton dan tertekan dengan kemonotonan tersebut, bahkan Eliza mengatakan bahwa dirinya adalah seorang multitasker, yang harus memerankan multiperan setiap hari mulai dari membuka mata sampai menutup mata kembali. Dan yang paling membuatnya tertekan adalah Eliza menganggap Avery tidak memiliki lagi kehangatan dan memberikan tatapan mesra seperti pada saat mereka saling menambatkan hati, rupanya tatapan Mikesh menjadi tambahan pada indeks kekesalan Eliza. Seolah romantisme menguap sejak keduanya memutuskan untuk menikah dan memiliki anak. Dengan segala kekurangannya Avery pun membeberkan segala bebannya menjadi seorang kepala keluarga, mulai dari mencari tempat kerja yang memiliki waktu fleksibel dan menunjang kebutuhan rumah tangga, dimarahi atasan karena harus pulang cepat untuk menjaga lucas anak bungsu mereka, dan membimbing para editor baru yang memiliki ego yang kelewat tinggi. Pada intinya, baik Eliza maupun Avery sama-sama memiliki tekanan hidup dengan versi yang berbeda. Sehingga sampai pada sautu kesimpulan bahwa harus adanya saling pengertian satu sama lain.
Film Motherhood ini membawa pesan moral bagi pasangan muda manapun dalam menjalin ikatan pernikahan dan meniti kehidupan rumah tangga, yaitu untuk saling mengerti satu sama lain, dan bahwa di dalam kehidupan rumah tangga cinta saja belum cukup, ada hal-hal lain yang dapat menunjang rasa cinta tersebut. Cinta adalah modal awal yang diperlukan pada saat akan melabuhi bahtera rumah tangga, selanjutnya adalah kasih sayang. Dari rasa kasih sayang ini sebaiknya diupayakan untuk membangun suatu kedewasaan satu sama lain mengenai peranan masing-masing, dan dari kedewasaan tersebut terbangunlah suatu pengertian akan peran-peran tersebut. Sang suami harus memahami akan tugas-tugas istrinya, tidak menganggap sepele segala tugas dan tetek bengeknya yang kelihatannya sepele, namun menjenuhkan dan harus dilakukan setiap hari sejak bangun tidur hingga tidur kembali. Ketika suami selesai menyelesaikan tugasnya di kantor, maka rumah adalah tempatnya untuk istirahat dari segala rutinitas kerja hari itu. Sedangkan si istri tidak sampai di situ, satu-satunya rehat bagi istri adalah pada jam tidur, bahkan itupun harus dikorupsi oleh anak yang minta ditetein. Seolah tidak ada rehat bagi si istri karena rumahlah satu-satunya tempat kerjanya.
Akan tetapi, dari kemultifungsian seorang istri atau ibu rumah tangga, seharusnya pula dari kedewasaannya muncul pengertian akan fungsi sang suami sebagai kepala keluarga, seorang nahkoda dalam mengarungi bahtera rumah tangga, di mana keberlangsungan hidup anggota keluarganya berada dipundaknya, dan itu yang harus ia pertanggungjawabkan, bukan saja kepada dirinya, keluarga besarnya atau mertua, namun juga Negara dan agama. Oleh karena itu, si suami harus benar-benar berfikir ke depan, bukan hanya berpikir untuk hari itu saja, namun juga untuk hari-hari berikutnya. Ia harus memacu otaknya bagaimana ia harus menjamin kehidupan keluarganya, mulai dari biaya makan, pendidikan, kesehatan, sampai tempat tinggal dan akomodasi. Oleh karena itu, tidak bijak pula menyepelekan hal-hal sepele yang dikerjakan oleh sang suami karena bisa jadi hal sepele tersebut adalah kunci dari kemapanan hidup di masa nanti, karena sekali lagi, sang suami harus memutar otak untuk membawa keluarganya ke kehidupan yang lebih baik dan terjamin mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali, bahkan mungkin harus mengurangi waktu tidur atau mungkin menggantinya-siang menjadi malam dan malam menjadi siang, karena menjamin kehidupan keluarga adalah tanggung jawab serta kewajiban suami.
Pada klimaks film itu, Avery dan Eliza akhirnya kembali berbaikan dan mereka saling jujur satu sama lain tentang perasaan mereka masing-masing. Dan pada suatu adegan di atas atap apartemen mereka, Avery membuka isi amplop yang dibawa kurir tadi, yang ternyata adalah selembar cek dengan jumlah uang yang cukup lumayan besar tertulis di atasnya. Ternyata uang tersebut adalah hasil dari penjualan buku kuno, yang semula dianggap sepele oleh Eliza, pada tumpukan buku-buku tersebut terdapat salah satu buku yang memuat karya Emerson plus tanda tangannya, yang membuatnya menjadi sangat berharga karena dinilai sebagai buku kuno dan langka. Intinnya adalah hal yang tadinya dianggap sepele ternyata membawa sesuatu hal yang besar dan berguna. Jadi, menurut film tersebut komunikasi satu sama lain dalam kehidupan rumah tangga adalah satu hal yang sangat penting, karena dengan menjalin komunikasi pengertianpun akan terjalin sehingga saling memahami peranan masing-masing dan bersama-sama membawa kehidupan rumah tangga ke kehidupan yang lebih baik, bukan saling beradu ego tentang siapa yang lebih berperan penting di dalam rumah tangga, atau siapa yang lebih patut dihargai dan dimengerti.
Akan tetapi, satu hal yang harus difahami banget oleh para suami, bahwa istri yang menjadi ibu bagi anak-anak adalah makhluk yang boleh dikatakan sebagai the ultimate multitasker karena peranan serta tugas-tugasnya. Suksesnya seorang anak di masa depan berawal dari lingkungan keluarga dan yang memegang tanggup jawab pendidikan anak di rumah adalah ibu, karena ibu memiliki peran dominan di kawasan domestic, sedangkan suami atau ayah berperan dominan di daerah public. Ada sebuah ungkapan menarik dari karakter Clara sebagai anak tertua pada film tersebut, yaitu pada saat sang ibu mengatakan akan mencari pekerjaan, Clara malah melarangnya, ia mengatakan, “Mother’s done everything, but father’s only done some things….” Terlepas dari kefiksiannya, ungkapan tersebut diucapkan dengan polosnya sebagai sudut pandang seorang anak menilai orang tuanya. Meskipun sederhana dan diucapkan oleh seorang anak kecil kiranya patut untuk kita renungkan. Mungkin itulah mengapa Tuhan menempatkan Surga di bawah telapak kaki ibu dan sebagai suami seharusnya bangga menjadi penjaga dan pelindung seorang istri, ibu bagi anak-anaknya.
Satu hal lagi, film ini wajib ditonton bagi para selebritis, atau siapapu yang doyan dengan kawin-cerai. Keputusan bercerai adalah keputusan di bawah tekanan emosi, mengedepankan emosi dalam menghadapi masalah berarti dangkalnya kedewasaan, kurangnya kedewasaan berakibat ignoran terhadap dampak dari keputusan yang diambil di bawah tekanan emosi tersebut, karena keputusan yang diambil di bawah tekanan emosi sudah pasti 50% benar dan 50% salah. Mari kita renungkan sama-sama.
“Mother's done everything, but father's only done some things….”
Itulah inti dari cerita film yang saya tonton, yaitu film yang berjudul “Motherhood”. Film yang dibintangi oleh Uma Thurman tersebut bercerita tentang kehidupan sehari-hari seorang ibu rumah tangga. Eliza Welch yang diperankan Uma Thurman adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki latar belakang seorang penulis, namun karir menulisnya harus ia tunda untuk jangka waktu yang tidak ditentukan, karena karirnya sebagai ibu rumah tangga begitu menyita waktunya. Namun, ia tetap menulis walau sekedar menulis di blog.
Sebagaimana halnya tugas seorang ibu rumah tangga, Eliza terkadang merasa tertekan dengan segala rutinitas yang ia lakukan sehari-hari, yang menurutnya adalah hal-hal sepele, namun begitu terorganisir dan bersifat kontinum sehingga memiliki bobot yang menguras tenaganya. Mulai dari mengantar anak pertamanya sekolah, mengasuh anak bungsunya, melipat pakaian, mencuci piring, sampai persiapan pesta ulang tahun anak pertamanya yang diceritakan akan menginjak usia enam tahun. Segala ketertekanan ia tuangkan ke dalam blognya yang ia berinama The Bjorn Identity.
Ketertekanan Eliza Semakin akut ketika ia berusaha menulis artikel untuk sayembara menulis yang diadakan oleh sebuah majalah keluarga. Hasratnya menulis kembali menyeruak apalagi dengan jumlah hadiah yang cukup lumayan, namun untuk menuliskan 500 karakter tentang keibuan (motherhood), sebagai jawaban dari pertanyaan sederhana pada sayembara tersebut, yaitu “What Does Motherhood Mean to Me?”, Eliza harus berjuang habis-habisan, karena, sekali lagi, tugas ibu rumah tangga yang begitu tidak mengenal kompromi dengan ambisinya, sedangkan di sisi lain sang suami, Avery, yang diperankan oleh Anthony Edward, seolah bersikap ignoran dan seolah hanya mementingkan dunia dan pekerjaannya, seperti pada saat berbagi tugas untuk membawa anjing mereka keluar supaya tidak ‘poops’ di karpet, Avery malah terfokus pada tumpukan buku-buku kuno yang akan dibuang oleh tetangganya. Hal tersebut membuat Eliza semakin merasa gerah dengan keadaannya, dan karena ketretekanannya itu, pada suatu scene, ia hampir meninggalkan suami dan kedua anaknya.
Suatu ketika ia bertemu dengan seorang kurir yang membawakan surat-surat untuk suaminya, kurir tersebut bernama Mikesh yang juga seorang penulis, khususnya naskah drama. Tatapan Mikesh dan kelembutan hatinya membuat Eliza begitu berarti dan merasa istimewa, serta dihargai, sebuah tatapan yang tidak ia dapatkan lagi dari sang suami. Pada suatu sore yang begitu emosional, Eliza mengungkapkan kekesalan, kesedihan, dan kepenatannya kepada Avery. Betapa hidupnya begitu monoton dan tertekan dengan kemonotonan tersebut, bahkan Eliza mengatakan bahwa dirinya adalah seorang multitasker, yang harus memerankan multiperan setiap hari mulai dari membuka mata sampai menutup mata kembali. Dan yang paling membuatnya tertekan adalah Eliza menganggap Avery tidak memiliki lagi kehangatan dan memberikan tatapan mesra seperti pada saat mereka saling menambatkan hati, rupanya tatapan Mikesh menjadi tambahan pada indeks kekesalan Eliza. Seolah romantisme menguap sejak keduanya memutuskan untuk menikah dan memiliki anak. Dengan segala kekurangannya Avery pun membeberkan segala bebannya menjadi seorang kepala keluarga, mulai dari mencari tempat kerja yang memiliki waktu fleksibel dan menunjang kebutuhan rumah tangga, dimarahi atasan karena harus pulang cepat untuk menjaga lucas anak bungsu mereka, dan membimbing para editor baru yang memiliki ego yang kelewat tinggi. Pada intinya, baik Eliza maupun Avery sama-sama memiliki tekanan hidup dengan versi yang berbeda. Sehingga sampai pada sautu kesimpulan bahwa harus adanya saling pengertian satu sama lain.
Film Motherhood ini membawa pesan moral bagi pasangan muda manapun dalam menjalin ikatan pernikahan dan meniti kehidupan rumah tangga, yaitu untuk saling mengerti satu sama lain, dan bahwa di dalam kehidupan rumah tangga cinta saja belum cukup, ada hal-hal lain yang dapat menunjang rasa cinta tersebut. Cinta adalah modal awal yang diperlukan pada saat akan melabuhi bahtera rumah tangga, selanjutnya adalah kasih sayang. Dari rasa kasih sayang ini sebaiknya diupayakan untuk membangun suatu kedewasaan satu sama lain mengenai peranan masing-masing, dan dari kedewasaan tersebut terbangunlah suatu pengertian akan peran-peran tersebut. Sang suami harus memahami akan tugas-tugas istrinya, tidak menganggap sepele segala tugas dan tetek bengeknya yang kelihatannya sepele, namun menjenuhkan dan harus dilakukan setiap hari sejak bangun tidur hingga tidur kembali. Ketika suami selesai menyelesaikan tugasnya di kantor, maka rumah adalah tempatnya untuk istirahat dari segala rutinitas kerja hari itu. Sedangkan si istri tidak sampai di situ, satu-satunya rehat bagi istri adalah pada jam tidur, bahkan itupun harus dikorupsi oleh anak yang minta ditetein. Seolah tidak ada rehat bagi si istri karena rumahlah satu-satunya tempat kerjanya.
Akan tetapi, dari kemultifungsian seorang istri atau ibu rumah tangga, seharusnya pula dari kedewasaannya muncul pengertian akan fungsi sang suami sebagai kepala keluarga, seorang nahkoda dalam mengarungi bahtera rumah tangga, di mana keberlangsungan hidup anggota keluarganya berada dipundaknya, dan itu yang harus ia pertanggungjawabkan, bukan saja kepada dirinya, keluarga besarnya atau mertua, namun juga Negara dan agama. Oleh karena itu, si suami harus benar-benar berfikir ke depan, bukan hanya berpikir untuk hari itu saja, namun juga untuk hari-hari berikutnya. Ia harus memacu otaknya bagaimana ia harus menjamin kehidupan keluarganya, mulai dari biaya makan, pendidikan, kesehatan, sampai tempat tinggal dan akomodasi. Oleh karena itu, tidak bijak pula menyepelekan hal-hal sepele yang dikerjakan oleh sang suami karena bisa jadi hal sepele tersebut adalah kunci dari kemapanan hidup di masa nanti, karena sekali lagi, sang suami harus memutar otak untuk membawa keluarganya ke kehidupan yang lebih baik dan terjamin mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali, bahkan mungkin harus mengurangi waktu tidur atau mungkin menggantinya-siang menjadi malam dan malam menjadi siang, karena menjamin kehidupan keluarga adalah tanggung jawab serta kewajiban suami.
Pada klimaks film itu, Avery dan Eliza akhirnya kembali berbaikan dan mereka saling jujur satu sama lain tentang perasaan mereka masing-masing. Dan pada suatu adegan di atas atap apartemen mereka, Avery membuka isi amplop yang dibawa kurir tadi, yang ternyata adalah selembar cek dengan jumlah uang yang cukup lumayan besar tertulis di atasnya. Ternyata uang tersebut adalah hasil dari penjualan buku kuno, yang semula dianggap sepele oleh Eliza, pada tumpukan buku-buku tersebut terdapat salah satu buku yang memuat karya Emerson plus tanda tangannya, yang membuatnya menjadi sangat berharga karena dinilai sebagai buku kuno dan langka. Intinnya adalah hal yang tadinya dianggap sepele ternyata membawa sesuatu hal yang besar dan berguna. Jadi, menurut film tersebut komunikasi satu sama lain dalam kehidupan rumah tangga adalah satu hal yang sangat penting, karena dengan menjalin komunikasi pengertianpun akan terjalin sehingga saling memahami peranan masing-masing dan bersama-sama membawa kehidupan rumah tangga ke kehidupan yang lebih baik, bukan saling beradu ego tentang siapa yang lebih berperan penting di dalam rumah tangga, atau siapa yang lebih patut dihargai dan dimengerti.
Akan tetapi, satu hal yang harus difahami banget oleh para suami, bahwa istri yang menjadi ibu bagi anak-anak adalah makhluk yang boleh dikatakan sebagai the ultimate multitasker karena peranan serta tugas-tugasnya. Suksesnya seorang anak di masa depan berawal dari lingkungan keluarga dan yang memegang tanggup jawab pendidikan anak di rumah adalah ibu, karena ibu memiliki peran dominan di kawasan domestic, sedangkan suami atau ayah berperan dominan di daerah public. Ada sebuah ungkapan menarik dari karakter Clara sebagai anak tertua pada film tersebut, yaitu pada saat sang ibu mengatakan akan mencari pekerjaan, Clara malah melarangnya, ia mengatakan, “Mother’s done everything, but father’s only done some things….” Terlepas dari kefiksiannya, ungkapan tersebut diucapkan dengan polosnya sebagai sudut pandang seorang anak menilai orang tuanya. Meskipun sederhana dan diucapkan oleh seorang anak kecil kiranya patut untuk kita renungkan. Mungkin itulah mengapa Tuhan menempatkan Surga di bawah telapak kaki ibu dan sebagai suami seharusnya bangga menjadi penjaga dan pelindung seorang istri, ibu bagi anak-anaknya.
Satu hal lagi, film ini wajib ditonton bagi para selebritis, atau siapapu yang doyan dengan kawin-cerai. Keputusan bercerai adalah keputusan di bawah tekanan emosi, mengedepankan emosi dalam menghadapi masalah berarti dangkalnya kedewasaan, kurangnya kedewasaan berakibat ignoran terhadap dampak dari keputusan yang diambil di bawah tekanan emosi tersebut, karena keputusan yang diambil di bawah tekanan emosi sudah pasti 50% benar dan 50% salah. Mari kita renungkan sama-sama.
wah asyik kayaknya filmnya
BalasHapus