Catatan Ulat2: Alasan… Alasan … dan Alasan….
Permasalahan-permasalahan di atas adalah sebagian dari permasalahan pembahasan ini, yaitu alasan. Selalu saja banyak alasan untuk menunda berkarya. Alasan tersebut datang dari mana-mana, baik dari diri sendiri maupun faktor luar, seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa ide dan mood menjadi alasan kuat dan utama dibuat atau tidaknya sebuah karya. Alasan lainnya yang tak kalah busuknya adalah faktor kesibukan yang tak pernah mau kompromi dan katanya sangat menyita waktu dan tenaga, sehingga tidak tersisa untuk berkarya. Kesibukan seperti apa? Ya, macam-macam sibuk kerja, sibuk main game, sibuk ngayal, sibuk jalan, dan seabreg janji untuk hang out bersama teman-teman se-gank. Hasilnya, habislah sudah energy untuk berkarya dan haripun ditutup dengan tidur.
Alasan seolah menjadi alibi klasik kenapa tidak segera berkarya. Pengejewantahan kenyataan bahwa diri ini adalah diri yang kalah dari kasta kacangan. Jika mereka yang karya-karyanya sudah terbit dan beredar di pasaran, baik berupa fiksi maupun nonfiksi mungkin karena mereka telah menemukan alasan kuat untuk segera berkarya dan mengalahkan alasan untuk beralasan, dan membentuk alasan baru mengapa susah berkarya.
Saat tulisan ini dibuat, ada banyak alasan yang bergelayutan di otak kanan dan kiri. Otak kiri mempertanyakan mengapa tulisan ini dibuat, untuk tujuan apa dan untungnya apa? Ilmu seperti apa yang ingin disampaikan? Motivasi? Tentang kecakapan hidup? Semua sudah ada di pasaran, bung! Kualitasnya bagus dan laku seperti kacang goreng. Lihat saja buku-buku Fauzil ‘Adhim, Arswendo Atmowiloto, Hernowo dengan menangkap maknanya, dan masih banyak lagi yang mengajarkan hal yang sama dan laku karena kualitas penulisnyapun bonafit. Lalu, saya! Siapa saya? Bukan siapa-siapa bila dibandingkan dengan ketiga orang di atas. Itu kata otak kiri saya.
Otak kanan saya ikut berkata, ini tulisan apa, ya? Disebut novel jelas bukan, disebut karya motivasi pun masih terkesan ambigu, kalau segi hiburan – hmm … menghibur dari segi apa? Nggak ada joke, nggak ada gambar, kurang narasi. Wah ini mah karya setengah jadi, neggak jadi ke sana, nggak jadi ke sini. Lalu apa, donk? Begitu otak kanan saya berinterupsi. Hingga akhirnya cukup alasan untuk tidak meneruskan tulisan ini, karena apakah ada harganya ataukah ada orang yang akan membacanya selain saya? Well, itulah alasan yang tak pernah berhenti meracau di benak saya.
Permasalahan-permasalahan di atas adalah sebagian dari permasalahan pembahasan ini, yaitu alasan. Selalu saja banyak alasan untuk menunda berkarya. Alasan tersebut datang dari mana-mana, baik dari diri sendiri maupun faktor luar, seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa ide dan mood menjadi alasan kuat dan utama dibuat atau tidaknya sebuah karya. Alasan lainnya yang tak kalah busuknya adalah faktor kesibukan yang tak pernah mau kompromi dan katanya sangat menyita waktu dan tenaga, sehingga tidak tersisa untuk berkarya. Kesibukan seperti apa? Ya, macam-macam sibuk kerja, sibuk main game, sibuk ngayal, sibuk jalan, dan seabreg janji untuk hang out bersama teman-teman se-gank. Hasilnya, habislah sudah energy untuk berkarya dan haripun ditutup dengan tidur.
Alasan seolah menjadi alibi klasik kenapa tidak segera berkarya. Pengejewantahan kenyataan bahwa diri ini adalah diri yang kalah dari kasta kacangan. Jika mereka yang karya-karyanya sudah terbit dan beredar di pasaran, baik berupa fiksi maupun nonfiksi mungkin karena mereka telah menemukan alasan kuat untuk segera berkarya dan mengalahkan alasan untuk beralasan, dan membentuk alasan baru mengapa susah berkarya.
Saat tulisan ini dibuat, ada banyak alasan yang bergelayutan di otak kanan dan kiri. Otak kiri mempertanyakan mengapa tulisan ini dibuat, untuk tujuan apa dan untungnya apa? Ilmu seperti apa yang ingin disampaikan? Motivasi? Tentang kecakapan hidup? Semua sudah ada di pasaran, bung! Kualitasnya bagus dan laku seperti kacang goreng. Lihat saja buku-buku Fauzil ‘Adhim, Arswendo Atmowiloto, Hernowo dengan menangkap maknanya, dan masih banyak lagi yang mengajarkan hal yang sama dan laku karena kualitas penulisnyapun bonafit. Lalu, saya! Siapa saya? Bukan siapa-siapa bila dibandingkan dengan ketiga orang di atas. Itu kata otak kiri saya.
Otak kanan saya ikut berkata, ini tulisan apa, ya? Disebut novel jelas bukan, disebut karya motivasi pun masih terkesan ambigu, kalau segi hiburan – hmm … menghibur dari segi apa? Nggak ada joke, nggak ada gambar, kurang narasi. Wah ini mah karya setengah jadi, neggak jadi ke sana, nggak jadi ke sini. Lalu apa, donk? Begitu otak kanan saya berinterupsi. Hingga akhirnya cukup alasan untuk tidak meneruskan tulisan ini, karena apakah ada harganya ataukah ada orang yang akan membacanya selain saya? Well, itulah alasan yang tak pernah berhenti meracau di benak saya.
Komentar
Posting Komentar