Catatan Ulat1: Susah Memulai
Lebih mudah menghancurkan atau merusak sesuatu daripada membangunnya. Membangun sebuah mall mungkin bisa memakan waktu berbulan-bulan atau mungkin tahunan tergantung seberapa besar mall yang sedang dibangun. Akan tetapi, untuk menghacurkannya bisa dilakukan hanya dalam waktu sehari atau dua hari, yang jelas tidak selama waktu membangunnya. Perkara yang sama pun berlaku kepada segala bidang, termasuk menulis.
Menjadi penulis bukanlah perkara yang mudah. Jangankan menulis puisi, cerpen atau bahkan novel, membuat catatan harian pun susahnya minta ampun. Kecuali, mungkin menulis puisi walaupun harus angin-anginan, maksudnya jika sedang merasa jatuh cinta maka mudah sekali merangkai kata dan jadilah karya puisi. Makanya karya-karya puisi saya lebih banyak bercerita tentang pacar atau kecengan. Selebihnya bertema kemarahan dan kesedihan, intinya tergantung pada hal-hal yang bisa membuat hati menjadi melankolis. Tanpa itu semua ide-ide dan mood menulis pun menjadi buntu dan impoten. Berikut adalah beberapa permasalahan yang selama ini membuat saya susah untuk segera mulai menulis.
a. Permasalahan Ide
Banyak sekali kendala yang merintangi diri ini untuk mewujudkan ambisi untuk menjadi penulis, terutama di bagian ide. Ide sering kali susah dicari, juga jarang berkunjung ke dalam otak. Terkadang juga ide datang tak diundang, tanpa aba-aba begitu saja muncul di kepala, namun tetap saja masalahnya bukan hanya sebatas ide saja, karena ide bisa saja meletup-letup, namun tanpa kemampuan yang cukup untuk mengembangkan dan mebangunnya, sehebat apapun ide yang dimiliki akan memuai dan hilang dihembus angin karena tidak pernah digubris.
Faktor penghalang pengembangan ide-ide ke dalam bentuk fisik karena kepala dipenuhi berbagai macam persoalan yang juga ingin turut keluar. Sebagian bingung di titik mana harus mengembangkan ide-ide itu, sehingga jika dibandingkan dengan air keran, air tersebut tidak encer dan bening malah kumal dan sangat kental sehingga ketika keran di buka maka lambat sekali keluar. Atau seperti segerombolan orang dalam satu stadion yang berebut keluar lewat satu pintu, walhasil bukannya keluar malah berjejalan di pintu keluar dan yang berhsil keluar hanya satu atau dua orang, itu pun dipastikan tidak semuanya keluar, mungkin saja sebagian ada yang pingsan karena sesak, atau bahkan mati terinjak. Begitulah perumpamaan ide-ide saya di kepala ini yang begitu meletup, namun tak mampu di keluarkan karena banyak persoalan yang memboncengi ide-ide tersebut. Hasilnya, ide-ide pun menguap seperti biasa.
b. Permasalahan Mood
Mood dan selalu mood yang menjadi alasan klasik untuk mulai membuat suatu karya. Dan permasalahan klasik ini pula yang menjadi alasan kenapa saya masih juga diam dan tidak segera bekerja dan berkarya. Mood seperti bahan bakar dalam menggerakkan tangan dan menyelaraskannya dengan otak untuk menghasilkan karya, tanpa mood jangan harap ada karya yang dibuat walaupun hanya secuil saja, jangankan untuk mahakarya, karya kacanganpun tak sanggup dibuat. Jadi, mood adalah segalanya, penentu lahirnya sebuah mahakarya.
Ternyata urusan mood bukan hanya persoalan klasik penulis pemula, namun juga bagi yang telah ahli. Permasalahan ini seperti melakukan kebohongan putih, walaupun untuk kebaikan, namun tetap saja berbohong, yaitu mengartikan kemalasan dan kebosanan di dalam berkarya. Ada yang tidak setuju? Silahkan protes.
c. Permasalahan Tujuan Berkarya
OK. Ide sudah sedikit bisa dikendalikan dan mood sudah sedikit bisa diatasi, mulailah berkarya, menata ide supaya lebih tertib keluarnya dan tidak berebutan, menahan godaan mood yang angin-anginan. Menata satu persatu kata dan merangkai kalimat, dan terciptalah paragraf, namun apa yang terjadi? Muncul sebuah pertanyaan baru “Sebenarnya untuk apa tulisan ini dibuat?”, “Mau dijual, tapi tidak ada nilai jual, bahkan kalah jauh dengan karya-karya yang sudah ada.”, “Tulisan apa ini, diberikan ke teman/pacar pun malu-maluin!”, “Lagian ngapain juga nulis kayak gini, emang ngga ada kerjaan lain apa?”
Jadi, sebenarnya buat apa sih capek-capek berkarya tulis, kalau emang tidak bisa nulis? Bahkan pada saat tulisan ini dibuat, saya pun masih mempertanyakan apa sih tujuan sebenarnya tulisan ini dibuat? Memang sejujurnya saya akui, saya ingin berkarya dan populer dengan karya saya ini, dan tentu saja mendapat profit dari royalty. Namun, karya seperti apa yang harus dibuat? Kalaupun ada karya, untuk apa sebenarnya karya itu dibuat, lagipula belum tentu orang suka dengan karya yang saya buat.
d. Permasalahan Ambisi
Masih nyambung dengan permasalahan tujuan di atas, permasalahan lainnya pada saat membuat sebuah karya tulis adalah persoalan ambisi. Ambisi untuk membuat karya tandingan dari karya-karya tokoh panutan yang karya-karyanya telah terjual ratusan kopi, bahkan mungkin jutaan kopi. Namun, sayangnya apa hendak dikata, ingin hati memeluk gunung, namun apa daya tangan tak sampai – ingin membuat karya hebat, namun kemampuan pas-pasan itupun angin-anginan dan harus bergelut dengan mood. Akhirnya kandas di rerumputan.
Sekalipun karya itu jadi dibuat dan sudah berupa dummy 1, namun pada saat membaca lagi karya sang panutan dan membandingkannya dengan karya sendiri, aduh… rasanya kok ancur sekali karya saya ini, ya. Akhirnya, kembali menjadi penghuni arsip yang entah kapan muncul ke permukaan atau sekedar untuk direvisi. Tapi, malu-maluin kayaknya kalau harus disetorkan ke penerbit, mungkin mereka akan mencemooh, menertawakan, atau bahkan tidak dilirik sama sekali. Menyedihkan sekali. Jadi, daripada mempermalukan diri sendiri lebih baik karya ini disekap saja di gudang arsip.
Ambisi…tinggal ambisi, namun kemampuan tidak dapat menyertai si ambisi, akhirnya yang terjadi malah bengong di depan komputer, tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Ada ide, tapi ragu untuk menuangkannya dan game-lah pilihan terakhir alih-alih sebagai mediator dan perangsang ide-ide untuk karya lainnya.
Lebih mudah menghancurkan atau merusak sesuatu daripada membangunnya. Membangun sebuah mall mungkin bisa memakan waktu berbulan-bulan atau mungkin tahunan tergantung seberapa besar mall yang sedang dibangun. Akan tetapi, untuk menghacurkannya bisa dilakukan hanya dalam waktu sehari atau dua hari, yang jelas tidak selama waktu membangunnya. Perkara yang sama pun berlaku kepada segala bidang, termasuk menulis.
Menjadi penulis bukanlah perkara yang mudah. Jangankan menulis puisi, cerpen atau bahkan novel, membuat catatan harian pun susahnya minta ampun. Kecuali, mungkin menulis puisi walaupun harus angin-anginan, maksudnya jika sedang merasa jatuh cinta maka mudah sekali merangkai kata dan jadilah karya puisi. Makanya karya-karya puisi saya lebih banyak bercerita tentang pacar atau kecengan. Selebihnya bertema kemarahan dan kesedihan, intinya tergantung pada hal-hal yang bisa membuat hati menjadi melankolis. Tanpa itu semua ide-ide dan mood menulis pun menjadi buntu dan impoten. Berikut adalah beberapa permasalahan yang selama ini membuat saya susah untuk segera mulai menulis.
a. Permasalahan Ide
Banyak sekali kendala yang merintangi diri ini untuk mewujudkan ambisi untuk menjadi penulis, terutama di bagian ide. Ide sering kali susah dicari, juga jarang berkunjung ke dalam otak. Terkadang juga ide datang tak diundang, tanpa aba-aba begitu saja muncul di kepala, namun tetap saja masalahnya bukan hanya sebatas ide saja, karena ide bisa saja meletup-letup, namun tanpa kemampuan yang cukup untuk mengembangkan dan mebangunnya, sehebat apapun ide yang dimiliki akan memuai dan hilang dihembus angin karena tidak pernah digubris.
Faktor penghalang pengembangan ide-ide ke dalam bentuk fisik karena kepala dipenuhi berbagai macam persoalan yang juga ingin turut keluar. Sebagian bingung di titik mana harus mengembangkan ide-ide itu, sehingga jika dibandingkan dengan air keran, air tersebut tidak encer dan bening malah kumal dan sangat kental sehingga ketika keran di buka maka lambat sekali keluar. Atau seperti segerombolan orang dalam satu stadion yang berebut keluar lewat satu pintu, walhasil bukannya keluar malah berjejalan di pintu keluar dan yang berhsil keluar hanya satu atau dua orang, itu pun dipastikan tidak semuanya keluar, mungkin saja sebagian ada yang pingsan karena sesak, atau bahkan mati terinjak. Begitulah perumpamaan ide-ide saya di kepala ini yang begitu meletup, namun tak mampu di keluarkan karena banyak persoalan yang memboncengi ide-ide tersebut. Hasilnya, ide-ide pun menguap seperti biasa.
b. Permasalahan Mood
Mood dan selalu mood yang menjadi alasan klasik untuk mulai membuat suatu karya. Dan permasalahan klasik ini pula yang menjadi alasan kenapa saya masih juga diam dan tidak segera bekerja dan berkarya. Mood seperti bahan bakar dalam menggerakkan tangan dan menyelaraskannya dengan otak untuk menghasilkan karya, tanpa mood jangan harap ada karya yang dibuat walaupun hanya secuil saja, jangankan untuk mahakarya, karya kacanganpun tak sanggup dibuat. Jadi, mood adalah segalanya, penentu lahirnya sebuah mahakarya.
Ternyata urusan mood bukan hanya persoalan klasik penulis pemula, namun juga bagi yang telah ahli. Permasalahan ini seperti melakukan kebohongan putih, walaupun untuk kebaikan, namun tetap saja berbohong, yaitu mengartikan kemalasan dan kebosanan di dalam berkarya. Ada yang tidak setuju? Silahkan protes.
c. Permasalahan Tujuan Berkarya
OK. Ide sudah sedikit bisa dikendalikan dan mood sudah sedikit bisa diatasi, mulailah berkarya, menata ide supaya lebih tertib keluarnya dan tidak berebutan, menahan godaan mood yang angin-anginan. Menata satu persatu kata dan merangkai kalimat, dan terciptalah paragraf, namun apa yang terjadi? Muncul sebuah pertanyaan baru “Sebenarnya untuk apa tulisan ini dibuat?”, “Mau dijual, tapi tidak ada nilai jual, bahkan kalah jauh dengan karya-karya yang sudah ada.”, “Tulisan apa ini, diberikan ke teman/pacar pun malu-maluin!”, “Lagian ngapain juga nulis kayak gini, emang ngga ada kerjaan lain apa?”
Jadi, sebenarnya buat apa sih capek-capek berkarya tulis, kalau emang tidak bisa nulis? Bahkan pada saat tulisan ini dibuat, saya pun masih mempertanyakan apa sih tujuan sebenarnya tulisan ini dibuat? Memang sejujurnya saya akui, saya ingin berkarya dan populer dengan karya saya ini, dan tentu saja mendapat profit dari royalty. Namun, karya seperti apa yang harus dibuat? Kalaupun ada karya, untuk apa sebenarnya karya itu dibuat, lagipula belum tentu orang suka dengan karya yang saya buat.
d. Permasalahan Ambisi
Masih nyambung dengan permasalahan tujuan di atas, permasalahan lainnya pada saat membuat sebuah karya tulis adalah persoalan ambisi. Ambisi untuk membuat karya tandingan dari karya-karya tokoh panutan yang karya-karyanya telah terjual ratusan kopi, bahkan mungkin jutaan kopi. Namun, sayangnya apa hendak dikata, ingin hati memeluk gunung, namun apa daya tangan tak sampai – ingin membuat karya hebat, namun kemampuan pas-pasan itupun angin-anginan dan harus bergelut dengan mood. Akhirnya kandas di rerumputan.
Sekalipun karya itu jadi dibuat dan sudah berupa dummy 1, namun pada saat membaca lagi karya sang panutan dan membandingkannya dengan karya sendiri, aduh… rasanya kok ancur sekali karya saya ini, ya. Akhirnya, kembali menjadi penghuni arsip yang entah kapan muncul ke permukaan atau sekedar untuk direvisi. Tapi, malu-maluin kayaknya kalau harus disetorkan ke penerbit, mungkin mereka akan mencemooh, menertawakan, atau bahkan tidak dilirik sama sekali. Menyedihkan sekali. Jadi, daripada mempermalukan diri sendiri lebih baik karya ini disekap saja di gudang arsip.
Ambisi…tinggal ambisi, namun kemampuan tidak dapat menyertai si ambisi, akhirnya yang terjadi malah bengong di depan komputer, tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Ada ide, tapi ragu untuk menuangkannya dan game-lah pilihan terakhir alih-alih sebagai mediator dan perangsang ide-ide untuk karya lainnya.
Komentar
Posting Komentar