Mewujudkan Bandung Bebas Polusi
(Bandung Sehat)
Bandung saat ini bukan lagi Bandung yang ‘berhiber’ zamannya Pak Ateng Wahyudi dulu. Seiring dengan dengan perkembangannya Bandung pernah menyandang predikat Paris van Java, kota Kembang, dan yang terakhir Bandung Kota Sampah sebagai dampak dari longsornya TPA Leuwi Gajah beberapa waktu silam, yang hingga saat ini permasalahan sampah masih menjadi sebuah polemik bagi warga Bandung. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan alternatif khusus permasalahan sampah ini dengan membangun ide kreatif, yaitu pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang juga melibatkan para pakar di ITB, namun tetap menuai perdebatan dengan masyarakat yang kontra akan ide tersebut.
Terlepas dari permasalahan sampah, Bandung justru saat ini tengah menghaadapi permasalahan yang tak kalah seriusnya, yaitu polusi, khususnya polusi udara yang kian memprihatinkan. Menurut pakar polusi udara Departemen Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB Puji Lestari, yang dilansir oleh SINDU, Senin 01 September 2008, menjelaskan bahwa kadar polusi kota Bandung sudah sangat memprihatinkan sekali. Puji Lestari menuturkan “ Kadar polutan di kota Bandung sudah sangat tinggi, yakni dihasilkan dari 68% hidrokarbon, 93,6% CO (karbon monoksida), dan 51,6% Nox. Partikulat halus bahkan mencapai lebih dari 70% dari total partikel yang ada, yaitu 60 Mg/m³.” Hal tersebut diperparah dengan posisi kota Bandung yang berada di kawasan cekungan sehingga polutan bertahan lebih lama di udara.
Polusi udara di Bandung disebabkan oleh berbagai faktor pencemar lingkungan, namun di antara berbagai faktor penyebab pencemaran tersebut, yang paling dominan adalah emisi tranportasi, dimana secara nasional transportasi merupakan penyumbang polusi udara tertinggi, yaitu sekitar 85% yang diakibatkan semakin meningkatnya pengguna kendaraan bermotor terutama roda dua di daerah perkotaan hingga tingkat kabupaten. Sehingga kota yang notabenenya dilindungi rimbun oleh pepohonan dan dihiasi warna-warni bebunga memiliki kadar timbal yang melebihi 2 mikrogram per meterkubik, jelas jauh di atas batas timbal yang diberlakukan oleh WHO (World Health Organization), yaitu 0,5 mikrogram per meterkubik. Hal ini bukanlah suatu perkara yang sepele dan juga bukan bahasan yang harus diperdebatkan lagi. Oleh karena itu, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan pemerintah di dalam menyikapi permasalahan ini, namun dituntut keseriusan, dedikasi, kerjasama dan disiplin yang tinggi. Berikut adalah beberapa saran alternatif yang dapat ditempuh oleh pemerintah setempat.
1. Pengundian flat nomor kendaraan bermotor pribadi, baik itu roda empat maupun roda dua. Misalnya, untuk nomor-nomor flat yang berkahiran angka ganjil atau berawalan angka genap dilarang berada di jalan raya pada hari-hari tertentu, seperti hari Senin-Rabu- Jum’at khusus kendaraan ber-flat nomor akhiran ganjil, sedangkan Selasa-Kamis, Sabtu khusus kendaraan ber-flat nomor akhiran genap. Dengan demikian, diharapkan kendaraan yang berlalu-lalang di jalan-jalan raya kota Bandung akan berkurang setengahnya atau bahkan lebih. Selain itu, angkot serta angkutan umum lainnya tidak perlu banyak ngetem untuk menunggu para penumpang dan maraknya para pengguna sepeda serta para pejalan kaki.
2. Pembebasan area-area tertentu dari kendaraan bermotor jenis apapun dari waktu-waktu tertentu. Misalnya, kawasan jalan Braga tidak boleh dilalui kendaraan jenis apapun pada pukul 08.00-20.00, kecuali sepeda. Dengan demikian, warga Bandung akan belajar menyukai rekreasi bersepeda dan juga jalan kaki.
3. Larangan bagi seluruh siswa/siswi SMP-SMA untuk tidak membawa kendaraan bermotor probadi jenis apapun dari rumah ke sekolah. Oleh karena itu, pemerintah bekerjasama dengan pihak sekolah di dalam soal pemberian sanksi kepada para siswa yang melanggar. Dan juga diharapkan para siswa mau menggunakan jasa angkutan umum atau sepeda sebagai sarana transportasi.
4. Berikan jalur khusus bagi sepeda, karena selama ini para pengguna sepeda harus berebut jalur dengan para pengguna kendaraan bermotor, sehingga seringkali terjadi diskriminasi terhadap para pengguna sepeda yang dilakukan oleh pengguna kendaraan bermotor, baik sengaja maupun tidak, yang jelas akibat dari tidak tertibnya berkendara di jalan raya membuat para pengendara sepeda dan juga pejalan kaki menjadi korbannya.
5. Hentikan pembangunan mal-mal, karena maraknya pembangunan mal tanpa disertai dengan jalur alternatif yang dapat diakses masyarakat umum, sehingga banyak terjadi kemacetan di sana-sini.
6. Ciptakan hutan lindung kota yang cukup luas, selain sebagai penyerap karbon dioksida juga sebagai penyuplai oksigen bagi makhluk hidup di sekitarnya terutama manusia. Selain itu, dapat juga berfungsi sebagai sarana olah raga masyarakat.
Komentar
Posting Komentar