Apa yang menjadi motivasi kamu menulis? Apakah sekadar untuk menuangkan uneg-unegmu? Melampiaskan seluruh gundahmu? Sebagian dari terapi kesehatan? Menjadi terkenal? Atau mungkin
menjadi kaya? Beberapa waktu yang lalu muncul istilah writerpreuneruship yang berarti menjadi
seorang wirausaha dalam bidang tulis menulis. Intinya mencari untung dari profesi menulis. Apakah bisa terlaksana?
Dalam film Rudy Habibie, sang tokoh Habibie muda selalu mengajukan tiga hal dalam menghadapi setiap permasalahan, yaitu fakta, masalah, dan solusi. Dunia perbukuan, di Indonesia khususnya, adalah sesuatu yang aneh bin ajaib. Keberadaannya antara ada dan tiada. Dibutuhkan, namun seolah tidak diinginkan. Hal ini karena fakta dunia perbukuan Nusantara adalah demikian, dibutuhkan, sekaligus diacuhkan. Fakta survey malah menyebutkan bahwa kebiasaan membaca buku masyarakat seribu pulau ni sangat minim, bahkan jauh di bawah negera tetangga sekalipun. Jauh bandingannya antara langit dan bumi jika harus dibandingkan dengan minat baca masyarakat Barat, seperti Eropa dan Amerika.
Di sisi lain, masalahnya, buku adalah sumber ilmu bahkan menjadi pegangan wajib bagi kaum akademik dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Namun, di sisi lain budaya konsumtif sudah mengakar kuat dari berbagai lapisan masyarakat. Jika membaca yang ditekankan, membaca status medsos, berita online, kegiatan baca tersebut juga bisa dimasukkan kategori kegiatan membaca. Jika pun buku menjadi sumber informasi, Google jauh lebih mumpuni, tinggal ketik kata kunci maka informasi yang dicari muncul bejubelan, baik berupa artikel, ulasan dalam buku, hingga video. Jadi, buat apa membaca buku? Mendingan beli pulsa, quota daripada membaca buku.
Buku sebagai hiburan? Masih kalah dengan You tube yang menawarkan aneka jenis hiburan, bahkan layanan video online ini bisa menjadi sumber penghasilan setiap kali kita mengunggah video di dalamnya, semakin banyak yang suka, semakin banyak subscribe pundi-pundi uang pun berdatangan. Buat apa buang-buang uang membeli buku dan berlelah-lelah membaca jika jalan mendapatkan uang lebih mudah dengan internet?
Fakta dan masalah di atas merupakan keniscayaan di jagat perbukuan Nusantarara saat ini. Fakta dan
masalah tersebut semakin dipertegas dengan malasnya kaum akademik yang menjadikan kewajiban
membaca menjadi salah satu kewajiban sekolah yang harus dipatuhi siswanya. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini sebagian pengajar yang digaji pemerintah lebih mementingkan materi ketimbang kemajuan prestasi siswanya, yang penting hadir meskipun banyak siswa yang pusing tujuh keliling mikirin pelajaran yang itupun diajarkan melalui LKS. Miris? Sangat! Hasilnya, lulusan-lulusan yang kurang cinta buku. Di sisi lain, masyarakat konsumtif generasi baru bermunculan. Jadi, siapa yang butuh buku di negeri yang kurang mencintai dunia literasi ini?
Permasalahan minat baca masyarakat Indonesia saat ini mengingatkan saya akan apa yang dikatakan Taufik Ismail. Menurut sang penyair, pada zaman Hindia Belanda, siswa tingkat menengah saja diwajibkan membaca buku minimal 25 buku selama tiga tahun. Bukan hanya itu saja, satrawan senior tersebut juga menuturkan bahwa para siswa tersebut dituntut untuk menulis ringkasan dari buku-buku yang mereka baca. Habatnya lagi, kebanyakan buku-buku tersebut berbahasa asing, terutama bahasa Belanda dan Inggris. Apa kabarnya generasi milenial? Kenyataannya, kemudahan informasi tidak berbanding lurus dengan peningkatan kecerdasan dan pengetahuan masyarakat.
Dapatkah kaya menjadi penulis?
Diliht dari sisi bisnis dan ekonomi, kaya menjadi penulis hanya ada dalam mimpi. Jika melihat survey dari UNESCO, jumlah pembaca Indonesia hanya 0,01 persen. Dengan kata lain, kompetensi target pasar buku hanya 0,01 persen saja. Itupun jika mereka membeli buku. Jadi, bisa kaya dari bidang menulis merupakan hal yang sangat sulit jika dilihat dari segi bisnis. Hanya segelintir saja yang berhasil meraup untung di bidang tulis-menulis, khususnya menulis buku, itupun lebih banyak buku-buku jenis fiksi dan sebagian lagi jenis biografi yang disampaikan dengan gaya bahasa faksi (fakta dan fiksi). Namun, jika dilihat dari sisi probabilitas, tentu saja tidak ada yang tidak mungkin.
Meskipun tampak nyaris tidak mungkin bisa menjadikan buku sebagai salah satu kebutuhan masyarakat Nusantara. Namun, masih terdapat celah untuk menjadi sukses di dunia kuli tinta ini. Kendati perlu kerja ekstra keras untuk mewujudkannya. Dengan kata lain, kerja keras menjadi kunci utamanya. Ya, apapun karir yang digeluti, untuk menjadi sukses tentu saja perlu kerja
keras. Seperti halnya pepatah mengatakan, “kerja keras tidak akan mengkhianati hasil.” Kesuksesan
adalah milik mereka yang bekerja keras. Pepatah lain juga mengatakan, “Victory comes with those who wait” (kalau nggak salah), yang berarti bersabar menunggu dalam upaya dan kerja keras dan tidak terburu-buru, selalu membuahkan hasil yang manis. “Man jadda wa jadda” begitupula pepatah Arab mengatakan yang berarti, siapa yang bersungguh-sungguh ia akan berhasil. Namun, lagi-lagi kerja keras saja belum cukup dalam dunia buku kita.
Selalu lincah dan kreatif. Perbukuan di Nusantara, khususnya saat ini tengah kembang kempis digempur berbagai permasalahan negeri, mulai dari lemahnya minat baca masyarakat hingga gencarnya teknologi internet yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, mulai dari sebagai media hiburan hingga sebagai ladang bisnis. Oleh karena itu, selain kerja keras untuk kaya menjadi penulis adalah harus lincah dan kreatif. Lincah dalam melihat dan menangkap peluang yang ada. Juga kreatif dalam mengemas ide sehingga mampu memenuhi peluang-peluang yang ada.
Dalam dunia bisnis, kita dituntut peka untuk melihat segala peluang pasar. Sekecil apapun peluang tersebut, selama kita jeli dan kreatif, kita bisa memanfaatkannya untuk meraih pasar.
Dalam dunia bisnis, kita dituntut peka untuk melihat segala peluang pasar. Sekecil apapun peluang tersebut, selama kita jeli dan kreatif, kita bisa memanfaatkannya untuk meraih pasar.
Fleksibel. Sering kali saat peluang yang ada tiba ternyata bukan sesuatu yang kita sukai. Misalnya, jika kamu senang menulis fiksi, namun tawaran menulis yang diberikan malah menulis tentang nonfiksi, membuat ensiklopedi misalnya. Oleh karena itu, kita perlu fleksibel dalam melihat peluang. Meskipun menulis nonfiksi bukanlah bidang yang disukai, namun tidak ada salahnya untuk menuliskannya. Anggap saja sebagai latihan menulis, khususnya bagi pemula. Bagaimanapun menjadi penulis adalah salah satu bidang pekerjaan kreatif yang menuntut skill, perlu latihan untuk me-maintain supaya kemampuan tidak tumpul.
Meningkatkan kemampuan. Karir menjadi penulis adalah sama halnya dengan karir-karir lainnya yang membutuhkan kecakapan diri setelah bakat. Seorang penyanyi misalnya, jika ingin dibayar mahal tentunya kemampuan olah vocal yang dimilikinya harus benar-benar bagus. Tentu saja beda bayaran penyanyi organ tunggal dengan Agnes Monica, bukan? Kendati tidak menutup kemungkinan juga, penyanyi jalanan memiliki kualitas yang jauh lebih hebat dari penyanyi yang sudah mempunyai nama sekalipun. Begitupun dengan menulis, berlatih untuk meningkatkan kemampuan adalah keniscayaan. Penulis yang baik dan buruk tentu saja dapat dilihat dari hasil tulisannya. Jadi, tidak ada waktu istirahat dalam mengasah kemampuan untuk meningkatkannya.
Berani mengekspos diri. Namanya juga usaha, dalam bisnis manapun perlu keberanian untuk
mengekspos diri. Jika kamu memiliki karya tulis, sebaiknya segera tawarkan ke penerbit, mungkin
naskah tersebutlah yang tengah dicari dan dibutuhkan. Siapa tahu? Apapun bisnis yang digeluti tidak
akan maju dan berkembang jika si pelaku bisnis tidak berani membuka diri, mempromosikan diri sendiri, meyakinkan pihak pasar bahwa kamu termasuk produk unggulan. Namun, tentu saja harus dibarengi pula dengan kemampuan diri (yang mumpuni) yang tidak kalah dengan pesaing.
Keberuntungan. Hal ini memang susah dikalkulasikan. Kadangkala orang yang sudah bekerja keras kalah saing dengan orang yang biasa-biasa saja dan usaha yang biasa pula. Tidak ada variabel yang mampu mengukur tingkat keberentungan, namun hal ini bukan pula berarti berhenti berharap. Ingat, Tuhan tidak tidur dan tahu persis apa yang kita usahakan dan harapkan selama ini. Jika kita tetap konsisten dengan usaha kita, semua kegagalan yang selama ini menghantui akan berakumulasi menjadi keberhasilan, bahkan jauh di atas ekspektasi kita.
Jadi, bisakah kaya menjadi penulis? Jawabannya, Bisa! Tergantung seberapa besar upaya yang dikerahkan untuk mewujudkannya. Bagaimanapun Tuhan telah memberikan aneka peluang, tinggal kita yang harus jeli dalam melihat dan menangkapnya dan seberapa besar kemauan kita untuk
memanfaatkan peluang tersebut. Jika pun tidak sukses di negeri sendiri, mengapa tidak menulis untuk penerbit luar negeri. Mungkinkah? Sangat mungkin selama tingkat skill kita memenuhi kualifikasi.
(Happy reading and writing)
Komentar
Posting Komentar